Oleh: Yusuf Husni
IBARAT kendaraan besar, Partai Golkar adalah bus. Ada sopir. Ada penumpang. Ban bus ibarat DPD 1. Sedang kaki bus, shockbreaker, per, dan tie rod-nya adalah DPD Kokab. Sayangnya, selama ini perawatannya kurang diperhatikan. Sehingga penumpangnya tidak merasa nyaman.
Bus pun oleng ke kanan dan kiri. Bannya kadang selip. Nyaris terjadi kecelakaan. Bila dibiarkan, bukan tidak mungkin bus akan terjungkal. Membahayakan penumpang dan pengendara lain.
Sementara sopir hanya peduli pada ban saja. Bila kurang angin, tinggal ditambahi angin saja. Bila bocor di tengah jalan, tinggal tambal. Mau sopir ugal-ugalan pun bebas. Toh, dia yang nyupiri. Buat apa repot-repot. Asalkan bus bisa jalan. Beres. Tak perlu macam-macam perawatan.
Sebenarnya sudah sering penumpang mengingatkan sopir agar berhati-hati. Tapi sopir tak mau mendengarkan. Pokoknya kejar setoran. Tabrak sana, tabrak sini. Semua mekanisme aturan dilanggar. Semua dilakukan demi kesenangan diri sang sopir. Dia merasa ada kenikmatan tersendiri kendarai bus dengan cara seperti itu.
Karena mengendarai ugal-ugalan, akhirnya sang sopir ditilang polisi. Seluruh penumpang geram. Sopir dimaki-maki. Tetapi dengan tenangnya sopir cengar cengir merasa tidak bersalah.
Saat sopir sedang diperiksa polisi, penumpang jadi resah. Menunggu dengan gelisah. Sampai kapan pemeriksaan berakhir?
Tidak ada yang tahu.
Semua itu disebabkan tingkah laku sopir yang tidak mau mendengarkan keluhan penumpang.
Para penumpang khawatir tidak akan sampai tujuan tepat waktu. Tidak ada kejelasan perjalanan.
Sementara sopir sedang diperiksa polisi. Apakah nanti SIM sopir dicabut? Makin tidak jelas statusnya.
Nantinya boleh tidaknya mengendarai bus lagi, kelihatannya sopir tetap ngeyel. Ketika diperiksa, dia inginnya dilepaskan untuk bisa mengendarai lagi. Justru hal ini membuat keadaan makin tidak menentu.
Yang bahaya adalah apabila lolos dari pemeriksaan, tindakannya akan semakin ugal-ugalan. Ini yang jadi kekhawatiran penumpang. Jika diteruskan, ada potensi bisa menyebabkan kecelakaan dan membuat penumpangnya mati konyol.
Akhirnya para penumpang ada yang memilih turun di jalan dan pindah bus lain yang lebih nyaman dan bisa membawa sampai tempat tujuan.
Namun demikian masih ada penumpang yang tak mau pindah bus. Mereka sudah terbiasa menaiki bus tersebut. Mereka juga berpikiran bus masih laik jalan. Memang kurang perawatan apalagi dikendarai sopir yang ugal-ugalan. Tapi bukan berarti bus ditinggal begitu saja.
Penumpang lantas berembuk, cari jalan keluar apabila dalam pemeriksaan polisi, akhirnya SIM sopir ditahan sehingga tidak boleh mengendarai bus lagi. Harus segera dicarikan pengganti sopir yang memenuhi syarat agar bus bisa sampai tujuan dengan selamat.
Itulah drama politik yang terjadi di PG saat ini.
*Penasehat Partai Golkar Jawa Timur