Oleh: M. Isa Ansori
SELAMA hampir satu dekade pemerintahan Jokowi, demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran serius. Kampus-kampus kehilangan daya kritisnya akibat represi dan ancaman terhadap akademisi yang berani bersuara. Kebebasan pers tercekik oleh tekanan ekonomi dan politik, hingga banyak media arus utama hanya menjadi corong kekuasaan, memuja tanpa berani mengkritik. Situasi seperti ini mengingatkan kita disaat orde otoritarianisme orde baru melakukan pembungkaman dan pembredelan pers.
Kini, setelah Jokowi lengser, angin perubahan mulai terasa. Pers, yang sempat kehilangan jati dirinya, mulai menemukan jalannya kembali—jalan kebenaran, jalan keberpihakan terhadap rakyat, dan jalan sebagai pilar demokrasi yang sesungguhnya.
Kasus Pagar Laut Tangerang: Pemicu Keberanian Pers
Salah satu momentum penting dalam kembalinya pers ke jalur yang benar adalah kasus pagar laut di Tangerang. Proyek yang awalnya diselimuti narasi “demi kesejahteraan rakyat” ini justru mengungkap borok pemerintahan sebelumnya—bagaimana kebijakan dibuat tanpa transparansi, mengorbankan nelayan dan masyarakat pesisir demi kepentingan segelintir elite.
Liputan investigatif yang berani dari berbagai media mengungkap bahwa proyek ini bukan sekadar pembangunan infrastruktur, tetapi juga bentuk penjarahan ruang hidup masyarakat. Kritik dan protes yang awalnya hanya menggema di media sosial akhirnya diangkat oleh media arus utama, memaksa pemerintah untuk bersikap. Ini menjadi bukti bahwa pers yang bebas dan berani bisa mengoreksi kebijakan yang menyimpang.
Tempo: Kritis dan Lugas
Salah satu contoh nyata adalah Tempo, media yang tetap mempertahankan integritas jurnalistiknya meski di era Jokowi mengalami berbagai tekanan. Selama bertahun-tahun, Tempo menghadapi serangan, baik dalam bentuk pencemaran nama baik, ancaman pembekuan, hingga serangan siber. Namun, kini mereka kembali dengan liputan yang lebih tajam, membongkar berbagai warisan kelam pemerintahan sebelumnya, dari utang yang menumpuk, kebijakan yang pro-oligarki, hingga rekayasa hukum untuk kepentingan segelintir elite.
Kumparan dan Media Independen Lainnya
Media seperti Kumparan, yang semula cenderung berhati-hati dalam pemberitaan kritis selama era Jokowi, kini mulai menemukan jalannya. Mereka lebih terbuka dalam mengangkat isu-isu yang dulu ditutup-tutupi, seperti penyalahgunaan kekuasaan, konflik kepentingan di proyek strategis nasional, dan kegagalan kebijakan ekonomi yang hanya menguntungkan oligarki.
Selain itu, media-media independen seperti Narasi, Project Multatuli, dan Tirto semakin berani menyuarakan kebenaran. Mereka kembali ke fungsi aslinya: menjadi pengawas kekuasaan (watchdog), bukan sekadar penyampai rilis pers pemerintah.
Peran Media Sosial dan Aktivis Digital
Tak hanya media arus utama, peran media sosial dalam mengawal demokrasi juga semakin signifikan. Aktivis dan kritikus yang peduli kini memanfaatkan platform digital sebagai sarana untuk membongkar penyimpangan kekuasaan. Twitter, YouTube, dan TikTok menjadi medan baru bagi jurnalisme rakyat yang lebih cepat, lebih lugas, dan tak bisa dikendalikan oleh elite politik.
Kasus pagar laut di Tangerang menjadi contoh bagaimana sinergi antara media arus utama dan media sosial bisa menggugah kesadaran publik. Informasi yang awalnya tersebar melalui aktivis digital akhirnya mendapat sorotan besar di media nasional, memaksa penguasa untuk merespons.
Era Prabowo: Harapan dan Tantangan
Kini, di bawah kepemimpinan Prabowo, ada harapan agar pers tetap menjadi mitra yang kritis. Sebuah pemerintahan yang kuat tidak lahir dari pujian tanpa batas, tetapi dari kritik yang membangun. Jika Prabowo benar-benar ingin menciptakan pemerintahan yang demokratis dan berpihak pada rakyat, maka ia harus memastikan bahwa pers memiliki ruang untuk bekerja dengan bebas, tanpa tekanan ekonomi maupun politik.
Indonesia butuh pers yang berani, yang tidak sekadar menjadi pelengkap dalam demokrasi, tetapi sebagai salah satu pilar utamanya. Kita berharap, setelah bertahun-tahun disesatkan oleh tekanan politik dan kepentingan oligarki, kini pers telah menemukan jalannya kembali. Jalan kebenaran, jalan keberpihakan, dan jalan kontrol terhadap jalannya pemerintahan. Dengan dukungan media sosial yang digawangi oleh para aktivis dan kritikus, pers kini bukan lagi sekadar corong informasi, tetapi garda terdepan dalam menjaga demokrasi.@
*) Kolumnis dan Akademisi