Oleh: Radhar Tribaskoro
KETIKA Adhie M. Massardi menulis “Why Ijazah?”, ia sedang mengajak kita melihat lebih jauh dari sekadar selembar dokumen akademik. Ia sedang membuka kotak pandora dari krisis intelektualisme dalam kekuasaan, dan menunjukkan bagaimana politik hari ini mengikis bukan hanya nilai kejujuran administratif, tetapi juga keutamaan berpikir yang jernih dan bertanggung jawab.
Di tengah hiruk-pikuk politik yang penuh intrik dan manuver kekuasaan, polemik mengenai keaslian ijazah Presiden Joko Widodo muncul tidak sekadar sebagai serangan personal atau isu teknis hukum. Ia mencerminkan sesuatu yang lebih dalam: erosi kepercayaan terhadap simbol-simbol otoritas intelektual dalam kehidupan berbangsa. Ijazah menjadi titik masuk untuk melihat bagaimana anti-intelektualisme mengakar dalam praktik politik kontemporer Indonesia.
Ijazah sebagai Simbol Modal Budaya
Dalam pandangan sosiolog Prancis Pierre Bourdieu, ijazah bukan hanya bukti administratif, tetapi adalah cultural capital—modal budaya yang menjadi sumber legitimasi dan kekuasaan dalam masyarakat modern. Orang yang memiliki ijazah, apalagi dari institusi kredibel, diasumsikan memiliki kapabilitas, pengetahuan, dan kedewasaan moral yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan publik yang kompleks.
Dalam sistem demokrasi modern, posisi seorang presiden, menteri, atau pejabat tinggi negara tidak hanya diukur dari suara yang diperoleh, tetapi juga dari kemampuan intelektual dan etika publik yang dimilikinya. Ketika keaslian ijazah seorang presiden diragukan dan negara enggan memberikan jawaban transparan, maka krisisnya bukan pada dokumen itu semata, tetapi pada makna simbolik dan moral yang ia wakili.
Naiknya Anti-Intelektualisme Populis
Isu ijazah menjadi sangat politis karena muncul di tengah atmosfer politik yang ditandai oleh menguatnya anti-intelektualisme. Dalam bukunya Anti-Intellectualism in American Life (1963), Richard Hofstadter menjelaskan bahwa populisme sering kali disertai dengan sinisme terhadap kaum intelektual. Populis cenderung memposisikan intelektual sebagai bagian dari elite yang dianggap tidak memahami penderitaan rakyat biasa. Akibatnya, sikap meremehkan nalar, akademisi, dan pakar menjadi bagian dari retorika kemenangan politik.
Di Indonesia, gejala ini tampak dari bagaimana pemerintah sering mengabaikan masukan para ahli dalam pengambilan keputusan penting. Contoh klasiknya adalah revisi UU KPK, UU Cipta Kerja, dan berbagai kebijakan lain yang tetap dijalankan meskipun akademisi dari berbagai universitas besar secara terbuka menolak dan memberikan kritik argumentatif. Bahkan ketika kampus dan guru besar mulai bersuara, suara mereka kerap dibingkai sebagai gangguan politik, bukan koreksi etik dan intelektual.
Dalam konteks inilah, diamnya negara terhadap kontroversi ijazah menjadi bukan sekadar kelalaian, tapi bagian dari pola. Pemerintah tidak merasa perlu menjelaskan atau melayani pertanyaan publik karena ia bekerja dalam logika populisme simbolik: “selama rakyat puas, kita tak perlu mendengarkan kaum intelektual.”
Universitas yang Dilemahkan
Krisis legitimasi simbolik ini tidak berdiri sendiri. Ia berdampingan dengan lemahnya posisi institusi pendidikan tinggi dalam membentuk opini publik. Dalam teori Noam Chomsky, universitas modern di era neoliberalisme telah direduksi menjadi tempat produksi teknokrat dan profesional pasar, bukan tempat pembentukan pikiran kritis. Kampus dipaksa lebih sibuk mengejar ranking, akreditasi, dan anggaran hibah, ketimbang memproduksi wacana tandingan terhadap dominasi kekuasaan negara.
Fenomena ini membuat suara akademik kehilangan daya koreksi. Di tengah perdebatan soal ijazah misalnya, mayoritas universitas besar memilih diam atau bahkan membela status quo. Banyak guru besar enggan bersuara kritis karena posisi struktural mereka rawan disingkirkan atau tak mendapat perpanjangan jabatan. Ini menunjukkan bahwa lembaga pendidikan pun telah terserap ke dalam orbit kekuasaan dan kehilangan fungsi pengimbangnya.
Kebangkitan Gerakan Intelektual
Apa akibat dari semua ini? Kita hidup dalam masyarakat yang semakin rumit, tetapi dipimpin oleh logika-logika yang semakin dangkal. Politik dikelola seperti konten media sosial: cepat, dangkal, simbolik, dan penuh dramatisasi. Padahal, makin kompleks persoalan publik, makin besar kebutuhan kita pada pemimpin yang mampu berpikir mendalam, sistemik, dan reflektif.
Di titik ini, ijazah menjadi simbol absennya kepemimpinan intelektual. Ia bukan hanya dokumen kelulusan, tetapi tanda bahwa seseorang pernah melalui proses berpikir sistematis, belajar memahami argumen, dan mampu membedakan antara klaim palsu dan kebenaran rasional. Ketika simbol itu diragukan, dan negara tidak merasa penting untuk menjelaskan, maka yang dilucuti bukan hanya legalitas personal, tetapi harapan publik akan kualitas kepemimpinan intelektual.
Namun, tak semua sisi gelap. Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan mulai lahirnya kembali suara-suara intelektual yang berani mengambil posisi moral. Para akademisi, aktivis pendidikan, dan intelektual publik mulai mengingatkan bahwa demokrasi bukan hanya tentang prosedur elektoral, tetapi tentang kualitas diskursus publik. Mereka menulis, berbicara, dan memaksa publik untuk berpikir ulang tentang siapa yang layak memimpin.
Ini bukan perjuangan kecil. Di tengah arus hoaks, noise media sosial, dan intimidasi kekuasaan, suara intelektual sering kalah gaung. Namun tetap dibutuhkan. Sebab jika tidak, bangsa ini akan terus meluncur ke jurang “pembodohan yang sistematis”—di mana rakyat didorong untuk percaya bukan pada argumentasi, tetapi pada retorika kosong yang menyenangkan.
Penutup: Pertaruhan Bangsa atas Simbol Intelektual
Kontroversi ijazah seharusnya bukan sekadar bahan perdebatan kampanye atau bahan olok-olok. Ia harus dibaca sebagai peringatan serius bahwa bangsa ini sedang kehilangan arah epistemik. Ketika kebenaran tak lagi penting, ketika dokumen intelektual bisa diabaikan, dan ketika kampus dibungkam, maka yang hancur bukan hanya legitimasi presiden—tetapi masa depan demokrasi itu sendiri.
Maka benar kiranya seruan Adhie Massardi dalam Why Ijazah?—pertanyaannya bukan sekadar tentang dokumen, tapi tentang nilai. Nilai apa yang kita anut sebagai bangsa? Apakah kita masih menghargai pengetahuan, kejujuran akademik, dan kapasitas intelektual sebagai syarat untuk memimpin?
Kalau jawabannya tidak, maka ijazah hanya akan tinggal kertas kosong. Dan kita akan dibiarkan dipimpin oleh mereka yang tak tahu malu, tapi tahu cara merebut hati rakyat dengan kebohongan yang dibungkus kesederhanaan.@
Discussion about this post