Oleh: KH. M. Shiddiq Al Jawi
Pendahuluan
Seperti kita ketahui, terkadang hari raya Idul Fitri atau Idul Adha jatuh pada hari Jum’at. Misalnya saja yang terjadi pada tahun 2009, Idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah 1430 H jatuh pada hari Jum’at 27 Nopember 2009. Atau contoh mutakhir, Idul Adha 1446 H, jatuh pada hari Jumat 6 Juni 2025.
Di sinilah mungkin di antara kita ada yang bertanya, apakah sholat Jum’at masih diwajibkan pada hari raya? Apakah kalau seseorang sudah sholat Ied berarti boleh tidak sholat Jum’at?
Tulisan ini berusaha menjawab pertanyaan semacam itu dengan melakukan penelusuran pendapat ulama, dalil-dalilnya, dan pentarjihan (mengambil yang terkuat) dari dalil-dalil tersebut.
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum shalat Jum’at yang jatuh bertepatan dengan hari raya, baik Idul Fitri maupun Idul Adha. Dalam kitab Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al A`immah karya Imam Ad-Dimasyqi, disebutkan bahwa :
“Apabila hari raya bertepatan dengan hari Jum’at, maka menurut pendapat Imam Asy-Syafi’i yang shahih, bahwa shalat Jum’at tidak gugur dari penduduk kampung yang mengerjakan shalat Jum’at. Adapun bagi orang yang datang dari kampung lain, gugur Jum’atnya. Demikian menurut pendapat Imam Asy-Syafi’i yang shahih. Maka jika mereka telah shalat hari raya, boleh bagi mereka terus pulang, tanpa mengikuti shalat Jum’at. Menurut pendapat Imam Abu Hanifah, bagi penduduk kampung wajib shalat Jumat. Menurut Imam Ahmad, tidak wajib shalat Jum’at baik bagi orang yang datang maupun orang yang ditempati shalat Jum’at. Kewajiban shalat Jum’at gugur sebab mengerjakan shalat hari raya. Tetapi mereka wajib shalat Zhuhur. Menurut ‘Atha`, Zhuhur dan Jum’at gugur bersama-sama pada hari itu. Maka tidak ada shalat sesudah shalat hari raya selain shalat Ashar.”
Imam Ad-Dimasyqi tidak menampilkan pendapat Imam Malik. Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid menyatakan pendapat Imam Malik sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah. Disebutkannya bahwa,“Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat,”Jika berkumpul hari raya dan Jum’at, maka mukallaf dituntut untuk melaksanakannya semuanya….”
Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bahwa dalam masalah ini terdapat 4 (empat) pendapat :
Pertama, shalat Jum’at tidak gugur dari penduduk kota (ahlul amshaar/ahlul madinah) yang di tempat mereka diselenggarakan shalat Jum’at. Sedang bagi orang yang datang dari kampung atau padang gurun (ahlul badaawi/ahlul ‘aaliyah), yang di tempatnya itu tidak dilaksanakan shalat Jum’at, gugur kewajiban shalat Jum’atnya. Jadi jika mereka –yakni orang yang datang dari kampung — telah shalat hari raya, boleh mereka terus pulang, tanpa mengikuti shalat Jum’at. Inilah pendapat Imam Syafi’i. Ini pula pendapat Utsman bin Affan dan Umar bin Abdul Aziz.
Kedua, shalat Jum’at wajib tetap ditunaikan, baik oleh penduduk kota yang ditempati shalat Jum’at maupun oleh penduduk yang datang dari kampung. Ini pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Jadi, shalat Jum’at tetap wajib dan tidak gugur dengan ditunaikannya shalat hari raya.
Ketiga, tidak wajib shalat Jum’at baik bagi orang yang datang maupun bagi orang yang ditempati shalat Jumat. Tetapi mereka wajib shalat Zhuhur. Demikian pendapat Imam Ahmad.
Keempat, zhuhur dan Jum’at gugur sama-sama gugur kewajibannya pada hari itu. Jadi setelah shalat hari raya, tak ada lagi shalat sesudahnya selain shalat Ashar. Demikian pendapat ‘Atha` bin Abi Rabbah. Dikatakan, ini juga pendapat Ibnu Zubayr dan ‘Ali bin Abi Thalib RA.
Pendapat Yang Rajih (Lebih Kuat)
Kami mendapatkan kesimpulan, bahwa pendapat yang rajih (lebih kuat) adalah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, rahimahullah. Rincian hukumnya adalah sebagai berikut:
Hukum Pertama, jika seseorang telah menunaikan shalat hari raya -yang jatuh bertepatan dengan hari Jum’at- gugurlah kewajiban atasnya untuk menunaikan shalat Jum’at. Dia boleh melaksanakan shalat Jum’at dan boleh juga tidak.
Hukum Kedua, bagi mereka yang telah menunaikan shalat hari raya tersebut, lebih utama dan disunnahkan tetap melaksanakan shalat Jum’at.
Hukum Ketiga, jika orang yang telah menunaikan shalat hari raya tersebut memilih untuk tidak menunaikan shalat Jum’at, wajib melaksanakan shalat Zhuhur, tidak boleh meninggalkan Zhuhur.
Hukum Keempat, mereka yang pada pagi harinya tidak melaksanakan shalat hari raya, wajib atasnya untuk menunaikan shalat Jum’at, tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan shalat Jum’at.
Keterangan mengenai masing-masing hukum tersebut akan diuraikan pada poin berikutnya, Insya Allah.
Keterangan Hukum Pertama
Mengenai gugurnya kewajiban shalat Jum’at bagi mereka yang sudah melaksanakan shalat hari raya, dalilnya adalah hadits-hadits Nabi SAW yang shahih, antara lain yang diriwayatkan dari Zayd bin Arqam RA bahwa dia berkata :
صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمُعَةِ فَقَالَ مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ
“Nabi SAW melaksanakan shalat Ied (pada suatu hari Jum’at) kemudian beliau memberikan rukhshah (kemudahan/keringanan) dalam shalat Jum’at. Kemudian Nabi SAW berkata,’Barangsiapa yang berkehendak (shalat Jum’at), hendaklah dia shalat.” (HR. Al-Khamsah, kecuali At-Tirmidzi. Hadits ini menurut Ibnu Khuzaimah, hadits shahih).
Diriwayatkan dari Abu Hurayrah RA bahwa Nabi SAW bersabda :
قَدْ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنْ الْجُمُعَةِ وَإِنَّامُجَمِّعُونَ
“Sungguh telah berkumpul pada hari kalian ini dua hari raya. Maka barangsiapa berkehendak (shalat hari raya), cukuplah baginya shalat hari raya itu, tak perlu shalat Jum’at lagi. Dan sesungguhnya kami akan mengerjakan Jum’at.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Al-Hakim juga meriwayatkan hadits ini dari sanad Abu Shalih, dan dalam isnadnya terdapat Baqiyah bin Walid, yang diperselisihkan ulama. Imam Ad-Daruquthni menilai, hadits ini shahih. Ulama hadits lain menilainya hadits mursal).
Hadits-hadits ini merupakan dalil bahwa shalat Jum’at setelah shalat hari raya, menjadi rukhshah. Yakni, maksudnya shalat Jum’at boleh dikerjakan dan boleh tidak. Pada hadits Zayd bin Arqam di atas (hadits pertama) Nabi SAW bersabda “tsumma rakhkhasha fi al jumu’ati” (kemudian Nabi memberikan rukhshash dalam [shalat] Jum’at). Ini menunjukkan bahwa setelah shalat hari raya ditunaikan, shalat hari raya menjadi rukhshah (kemudahan/keringanan).
Menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, rukhshah adalah hukum yang disyariatkan untuk meringankan hukum azimah (hukum asal) karena adanya suatu udzur (halangan), disertai tetapnya hukum azimah namun hamba tidak diharuskan mengerjakan rukshshah itu.
Jadi shalat Jum’at pada saat hari raya, menjadi rukhshah, karena terdapat udzur berupa pelaksanaan shalat hari raya. Namun karena rukhshah itu tidak menghilangkan azimah sama sekali, maka shalat Jum’at masih tetap disyariatkan, sehingga boleh dikerjakan dan boleh pula tidak dikerjakan.
Hal ini diperkuat dan diperjelas dengan sabda Nabi SAW dalam kelanjutan hadits Zayd bin Arqam di atas “man syaa-a an yushalliya falyushalli” (barangsiapa yang berkehendak [shalat Jum’at], hendaklah dia shalat). Ini adalah manthuq (ungkapan tersurat) hadits. Mafhum mukhalafah (ungkapan tersirat kebalikan yang tersurat) dari hadits itu -dalam hal ini berupa mafhum syarat, karena ada lafazh “man” sebagai syarat- adalah “barangsiapa yang tidak berkehendak shalat Jum’at, maka tidak perlu shalat Jum’at.”
Kesimpulannya, orang yang telah menjalankan shalat hari raya, gugurlah kewajiban atasnya untuk menunaikan shalat Jumat. Dia boleh menunaikan shalat Jum’at dan boleh juga tidak.
Mungkin ada pertanyaan, apakah gugurnya shalat Jum’at ini hanya untuk penduduk kampung/desa (ahlul badaawi atau ahlul ‘aaliyah) –yang di tempat mereka tidak diselenggarakan shalat Jum’at– sedang bagi penduduk kota (ahlul amshaar / ahlul madinah) yang di tempat mereka diselenggarakan shalat Jum’at– tetap wajib shalat Jum’at?
Yang lebih tepat menurut kami, gugurnya kewajiban shalat Jum’at ini berlaku secara umum, baik untuk penduduk kampung/desa maupun penduduk kota. Yang demikian itu karena nash-nash hadits di atas bersifat umum, yaitu dengan adanya lafazh “man” (barangsiapa/siapa saja) yang mengandung arti umum, baik ia penduduk kampung maupun penduduk kota. Dan lafazh umum tetap dalam keumumannya selama tidak terdapat dalil yang mengkhususkannya.
Dalam hal ini tidak ada dalil yang mengkhususkan (takhsis) keumumannya, maka tetaplah lafazh “man” dalam hadits-hadits di atas berlaku secara umum. (Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, 2/273).
Keterangan Hukum Kedua
Bagi mereka yang sudah shalat hari raya, mana yang lebih utama (afdhal), menunaikan shalat Jum’at ataukah meninggalkannya ?
Pada dasarnya, antara azimah (hukum asal) dan rukhshah kedudukannya setara, tak ada yang lebih utama daripada yang lain, kecuali terdapat nash yang menjelaskan keutamaan salah satunya, baik keutamaan azimah maupun rukhshah.
Namun dalam hal ini terdapat nash yang menunjukkan keutamaan shalat Jum’at daripada meninggalkannya. Pada hadits Abu Hurayrah RA (hadits kedua) terdapat sabda Nabi “innaa mujammi’uun” (Dan sesungguhnya kami akan mengerjakan Jum’at).
Ini menunjukkan bahwa meskipun Nabi SAW menjadikan shalat Jum’at sebagai rukhshah, yakni boleh dikerjakan dan boleh tidak, akan tetapi Nabi SAW faktanya tetap mengerjakan shalat Jum’at.
Hanya saja perbuatan Nabi SAW ini tidak wajib, sebab Nabi SAW sendiri telah membolehkan untuk tidak shalat Jum’at. Jadi, perbuatan Nabi SAW itu sifatnya sunnah, tidak wajib.
Keterangan Hukum Ketiga
Jika orang yang sudah shalat hari raya memilih untuk meninggalkan shalat Jum’at, wajibkah ia shalat Zhuhur ? Jawabannya, dia wajib shalat Zhuhur, tidak boleh meninggalkannya.
Wajibnya shalat Zhuhur itu, dikarenakan nash-nash hadits yang telah disebut di atas, hanya menggugurkan kewajiban shalat Jum’at, tidak mencakup pengguguran kewajiban Zhuhur.
Padahal, kewajiban shalat Zhuhur adalah kewajiban asal (al-fadhu al-ashli), sedang shalat Jum’at adalah hukum pengganti (al-badal), bagi shalat Zhuhur itu. Maka jika hukum pengganti (al-badal) -yaitu shalat Jum’at- tidak dilaksanakan, kembalilah tuntutan syara’ kepada hukum asalnya, yaitu shalat Zhuhur. Yang demikian itu adalah mengamalkan Istish-hab, yaitu kaidah hukum untuk menetapkan berlakunya hukum asal, selama tidak terdapat dalil yang mengecualikan atau mengubah berlakunya hukum asal.
Dengan demikian, jika seseorang sudah shalat hari raya lalu memilih untuk meninggalkan shalat Jum’at, maka ia wajib melaksanakan shalat Zhuhur.
Keterangan Hukum Keempat
Mereka yang pada pagi harinya tidak melaksanakan shalat hari raya, wajib atasnya untuk tetap menunaikan shalat Jum’at. Tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan shalat Jum’at. Dengan kata lain, rukhshah untuk meninggalkan shalat Jum’at ini khusus untuk mereka yang sudah melaksanakan shalat hari raya. Mereka yang tidak melaksanakan shalat hari raya, tidak mendapat rukhshah, sehingga konsekuensinya tetap wajib hukumnya shalat Jum’at.
Dalilnya adalah hadits Abu Hurayrah (hadits kedua) dimana Nabi SAW bersabda ”fa man syaa-a, ajza-a-hu ‘anil jumu’ati” (Maka barangsiapa yang berkehendak [shalat hari raya], cukuplah baginya shalat hari raya itu, tak perlu shalat Jum’at lagi).
Ini adalah manthuq (ungkapan eksplisit/tersurat) dari hadits. Mafhum mukhalafah (pengertian implisit sebaliknya), yakni orang yang tak melaksanakan shalat hari raya, ia tetap dituntut menjalankan shalat Jum’at.
Imam Ash-Shan’ani dalam Subulus Salam ketika memberi syarah (penjelasan) terhadap hadits di atas berkata : “Hadits tersebut adalah dalil bahwa shalat Jum’at -setelah ditunaikannya shalat hari raya– menjadi rukhshah. Boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Tetapi (rukhshah) itu khusus bagi orang yang menunaikan shalat Ied, tidak mencakup orang yang tidak menjalankan shalat Ied.” (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, 2/112)
Jadi, orang yang tidak melaksanakan shalat hari raya, tidak termasuk yang dikecualikan dari keumuman nash yang mewajibkan shalat Jum’at. Yang dikecualikan dari keumuman nash itu adalah yang telah shalat hari raya. Maka dari itu, orang yang tidak shalat hari raya, tetap wajib atasnya shalat Jum’at.
Meninjau Pendapat-Pendapat Lain
Pendapat Imam Syafi’i
Pada dasarnya, Imam Syafii tetap mewajibkan shalat Jum’at yang jatuh bertepatan pada hari raya. Namun beliau menetapkan kewajiban tersebut hanya berlaku bagi penduduk kota (ahlul madinah/ahlul amshaar).
Adapun penduduk desa/kampung atau penduduk padang gurun (ahlul badawi) yang datang ke kota untuk shalat Ied (dan shalat Jum’at), sementara di tempatnya tidak diselenggarakan shalat Jumat, maka mereka boleh tidak mengerjakan shalat Jum’at.
Sebenarnya Imam Syafi’i berpendapat seperti itu karena menurut beliau, hadits-hadits yang menerangkan gugurnya kewajiban shalat Jum’at pada hari raya bukanlah hadits-hadits shahih. Sehingga beliau pun tidak mengamalkannya. Inilah dasar pendapat Imam Syafi’i. Menanggapi pendapat Imam Syafi’i tersebut, Imam Ash-Shan’ani dalam Subulus Salam berkata : “Asy-Syafi’i dan segolongan ulama berpendapat bahwa shalat Jum’at tidak menjadi rukhshah. Mereka berargumen bahwa dalil kewajiban shalat Jum’at bersifat umum untuk semua hari (baik hari raya maupun bukan). Sedang apa yang disebut dalam hadits-hadits dan atsar-atsar (yang menjadikan shalat Jum’at sebagai rukhshah) tidaklah cukup kuat untuk menjadi takhsis (pengecualian) kewajiban shalat Jum’at, sebab sanad-sanad hadits itu telah diperselisihkan oleh ulama. Saya (Ash-Shan’ani) berkata,’Hadits Zayd bin Arqam telah dinilai shahih oleh Ibnu Khuzaimah…maka hadits tersebut dapat menjadi takhsis (pengecualian)…” (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, 2/112).
Dengan demikian, jelaslah bahwa Imam Syafi’i tidak menilai hadits Zayd bin Arqam tersebut sebagai hadits shahih, sehingga beliau tidak menjadikannya sebagai takhsis yang menggugurkan kewajiban shalat Jum’at. Beliau kemudian berpegang kepada keumuman nash yang mewajibkan shalat Jumat pada semua hari (QS Al-Jumu’ah ayat 9), baik hari raya maupun bukan.
Tapi, Imam Ash-Shan’ani menyatakan, bahwa hadits Zayd bin Arqam adalah shahih menurut Ibnu Khuzaimah.
Dalam hal ini patut kiranya ditegaskan, bahwa penolakan Imam Syafi’i terhadap hadits Zayd bin Arqam tidaklah mencegah kita untuk menerima hadits tersebut. Penolakan Imam Syafi’i terhadap hadits Zayd bin Arqam itu tidak berarti hadits tersebut –secara mutlak– tertolak (mardud). Sebab sudah menjadi suatu kewajaran dalam penilaian hadits, bahwa sebuah hadits bisa saja diterima oleh sebagian muhaddits, sedang muhaddits lain menolaknya.
Dalam kaitan ini Imam Taqiyuddin An Nabhani dalam kitabnya _Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyah_ Juz I berkata :
“…(kita tidak boleh cepat-cepat menolak suatu hadits) hanya karena seorang ahli hadits tidak menerimanya, karena ada kemungkinan hadits itu diterima oleh ahli hadits yang lain. Kita juga tidak boleh menolak suatu hadits karena para ahli hadits menolaknya, karena ada kemungkinan hadits itu digunakan hujjah oleh para imam atau umumnya para fuqaha… ”
Maka dari itu, kendatipun hadits Zayd bin Arqam ditolak oleh Imam Syafi’i, tidak berarti kita tidak boleh menggunakan hadits tersebut sebagai dalil syar’i. Sebab faktanya ada ahli hadits lain yang menilainya sebagai hadits shahih, yakni Imam Ibnu Khuzaimah, sebagaimana penjelasan Imam Ash-Shan’ani. Jadi, beristidlal dengan hadits Zayd bin Arqam tersebut tetap dibenarkan, sehingga hukum yang didasarkan pada hadits tersebut adalah tetap berstatus hukum syar’i.
Pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah
Imam Malik dan Abu Hanifah tetap mewajibkan shalat Jum’at, baik bagi penduduk kota (ahlul madinah/ahlul amshaar) maupun penduduk desa/kampung atau penduduk padang gurun (ahlul badawi). Ibnu Rusyd menjelaskan argumentasi kedua Imam tersebut : “Imam Malik dan Abu Hanifah berkata, ‘Shalat hari raya adalah sunnah, sedang shalat Jum’at adalah fardhu, dan salah satunya tidak dapat menggantikan yang lainnya. Inilah yang menjadi prinsip asal (al-ashlu) dalam masalah ini, kecuali jika terdapat ketetapan syara’, maka wajib merujuk kepadanya…”
Dari keterangan itu, nampak bahwa Imam Malik dan Abu Hanifah juga tidak menerima hadits-hadits yang menerangkan gugurnya shalat Jum’at pada hari raya.
Konsekuensinya, beliau berdua kemudian berpegang pada hukum asal masing-masing, yakni kesunnahan shalat Ied dan kewajiban shalat Jum’at. Dasar pendapat mereka sebenarnya sama dengan pendapat Imam Syafi’i.
Namun demikian, beliau berdua memberikan perkecualian, bahwa hukum asal tersebut dapat berubah, jika terdapat dalil syar’i yang menerangkannya.
Atas dasar itu, karena terdapat hadits Zayd bin Arqam (yang shahih menurut Ibnu Khuzaimah) atau hadits Abu Hurayrah RA (yang shahih menurut Imam Ad-Daraquthni), maka sesungguhnya hadits-hadits tersebut dapat menjadi takhsis hukum asal shalat Jum’at, yakni yang semula wajib kemudian menjadi rukhshah (tidak wajib).
Dengan demikian, yang berlaku kemudian adalah hukum setelah ditakhsis, bukan hukum asalnya, yakni bahwa shalat Jum’at itu menjadi rukhshah bagi mereka yang menunaikan shalat hari raya, dan statusnya menjadi tidak wajib. Inilah pendapat yang lebih tepat.
Pendapat ‘Atha bin Abi Rabah
‘Atha bin Abi Rabbah berpendapat bahwa jika hari Jumat bertepatan dengan hari raya, maka shalat Jum’at dan zhuhur gugur semuanya. Tidak wajib shalat apa pun pada hari itu setelah shalat hari raya melainkan shalat ‘Ashar.
Imam Ash-Ash’ani menjelaskan bahwa pendapat ‘Atha` bin Abi Rabbah tersebut didasarkan pada 3 (tiga) alasan, yaitu :
Pertama, berdasarkan perbuatan sahabat Ibnu Zubayr RA sebagaimana diriwayatkan Imam Abu Dawud, bahwasanya :
عِيدَانِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ فَجَمَعَهُمَا جَمِيعًا فَصَلَّاهُمَا رَكْعَتَيْنِ بُكْرَةً لَمْ يَزِدْ عَلَيْهِمَا حَتَّى صَلَّى الْعَصْرَ
“Dua hari raya (hari raya dan hari Jum’at) telah berkumpul pada satu hari yang sama. Lalu dia (Ibnu Zubayr) mengumpulkan keduanya dan melakukan shalat untuk keduanya sebanyak dua rakaat pada pagi hari. Dia tidak menambah atas dua rakaat itu sampai dia mengerjakan shalat Ashar.” (HR. Abu Dawud).
Kedua, shalat Jum’at adalah hukum asal (al-ashlu) pada hari Jum’at, sedang shalat zhuhur adalah hukum pengganti (al-badal) bagi shalat Jum’at. Maka dari itu, jika hukum asal telah gugur, otomatis gugur pulalah hukum penggantinya.
Ketiga, yang zhahir dari hadits Zayd bin Arqam, bahwa Rasulullah SAW telah memberi rukhshah pada shalat Jum’at. Namun Rasulullah SAW tidak memerintahkan untuk shalat zhuhur bagi orang yang tidak melaksanakan shalat Jum’at.
Demikianlah alasan pendapat ‘Atha` bin Abi Rabbah. Imam Ash-Shan’ani tidak menerima pendapat tersebut dan telah membantahnya. Menurut beliau, bahwa setelah shalat hari raya Ibnu Zubayr tidak keluar dari rumahnya untuk shalat Jumat di masjid, tidaklah dapat dipastikan bahwa Ibnu Zubayr tidak shalat zhuhur. Sebab ada kemungkinan (ihtimal) bahwa Ibnu Zubayr shalat zhuhur di rumahnya. Yang dapat dipastikan, kata Imam Ash-Shan’ani, shalat yang tidak dikerjakan Ibnu Zubayr itu adalah shalat Jum’at, bukannya shalat zhuhur.
Untuk alasan kedua dan ketiga, Imam Ash-Shan’ani menerangkan bahwa tidaklah benar bahwa shalat Jum’at adalah hukum asal (al-ashlu) sedang shalat zhuhur adalah hukum pengganti (al-badal). Yang benar, justru sebaliknya, yaitu shalat zhuhur adalah hukum asal, sedang shalat Jum’at merupakan penggantinya. Sebab, kewajiban shalat zhuhur ditetapkan lebih dahulu daripada shalat Jumat. Shalat zhuhur ditetapkan kewajibannya pada malam Isra’ Mi’raj, sedang kewajiban shalat Jum’at ditetapkan lebih belakangan waktunya (muta`akhkhir).
Maka yang benar, shalat zhuhur adalah hukum asal, sedang shalat Jum’at adalah penggantinya. Jadi jika shalat Jum’at tidak dilaksanakan, maka wajiblah kembali pada hukum asal, yakni mengerjakan shalat zhuhur. (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, 2/112)
Kesimpulan
Dari seluruh uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa jika hari raya bertepatan dengan hari Jum’at, hukumnya adalah sebagai berikut :
Pertama, jika seseorang telah menunaikan shalat hari raya (Ied), gugurlah kewajiban shalat Jum’at atasnya. Dia boleh melaksanakan shalat Jum’at dan boleh juga tidak. Namun, disunnahkan baginya tetap melaksanakan shalat Jum’at.
Kedua, jika orang yang telah menunaikan shalat hari raya tersebut memilih untuk tidak menunaikan shalat Jum’at, wajib atasnya melaksanakan shalat zhuhur. Tidak boleh dia meninggalkan zhuhur.
Ketiga, adapun orang yang pada pagi harinya tidak melaksanakan shalat hari raya, wajib atasnya shalat Jum’at. Tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan shalat Jum’at. Tidak boleh pula dia melaksanakan shalat zhuhur.
Demikianlah hasil pentarjihan kami untuk masalah ini sesuai dalil-dalil syar’i yang ada. Wallahu a’lam.@
sumber: https://shiddiqaljawi.com/hukum-sholat-jumat-bersamaan-dengan-hari-raya-idul-fitri-idul-adha-2/
Discussion about this post