SIAGAINDONESIA.ID Pemprov Jatim diminta menutup galangan kapal di sejumlah daerah, khususnya Bangkalan karena mencemari lingkungan. Limbah B3 yang tidak tertampung di Tempat Pembuangan Sementara (TPS) mengalir ke laut serta merusak ekosistim di pesisir.
“DLH (Dinas Lingkungan Hidup) Jatim dan DKP (Dinas Kelautan dan Perikanan) Jatim diharap melakukan pendataan dan memberi sanksi aktivitas usaha yang merusak lingkungan dan merugikan masyarakat pesisir khususnya nelayan,” jelas Ketua Forum Masyarakat Peduli Nelayan (FMPN) Jawa Timur, Kamil Anadjib, SH saat dikonfirmasi.
Pihaknya menerima keluhan dari nelayan soal pencemaran di perairan selatan Bangkalan disebabkan pembuangan limbah B3 ke laut langsung tanpa melalui IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah).
“Ada sekitar lima galangan kapal, BTS (Bintang Timur Sejahtera) diantaranya dan satu aktivitas pemotongan kapal yang belum punya IPAL dan beberapa diantaranya sudah puluhan tahun beroperasi,” ungkap Kamil.
Sementara itu Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Maritim Indonesia, I Komang Aries Dharmawan mengatakan, perusahaan yang membandel tidak mengelola limbahnya dengan baik dapat diancam dengan hukuman pidana.
Dalam Undang-Undang Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 98, lanjut I Komang, setiap orang yang melakukan perbuatan dengan sengaja yang mengakibatkan dilampauinya ambang baku mutu udara, air laut, air sungai, air danau, dan kerusakan lingkungan hidup dapat didenda minimal 3 miliar dan maksimal 10 miliar dan penjara minimal 3 tahun dan maksimal 10 tahun.
Kesalahan verifikasi
Sementara itu Ketua Forum Masyarakat Kelautan, Maritim, Perikanan, Oki Lukito mengatakan KKP dan DKP Jatim mengevaluasi kembali kinerjanya dan cermat saat melakukan verifikasi teknis Matek maupun verifikasi di lapangan dalam proses Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL).
“Kasus BTS tamparan sekaligus peringatan telah terjadi kelalaian verifikasi teknis,” jelas Oki Lukito, Selasa (9/5/2023).
Ditambahkan Oki yang juga pengurus Kadin Jatim itu, hasil survei yang baru saja dilakukan Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Kelautan berbeda. Menurut DLH Jatim PKKPRL yang dikeluarkan KKP untuk BTS tertulis tahun 2022, sedangkan versi DKP Februari 2023. “Ini fatal,” tegas Oki.
Sementara itu, staf Balai Pengawasan Sumber Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar Wilayah Kerja Jawa Timur, Suwardi mengatakan sebagaimana dikutip di grup WA Himpunan Ahli Pengelola Pesisir (HAPPI) Jatim, dirinya pernah ke lokasi Bintang Timur Sejahtera dan memang menurutnya sudah ada penimbunan di darat, dan ada indikasi penebangan mangrove di perairannya, dilihat dari kanan dan kiri yang masih lebat, dan memang ada bekasnya.
“Kami tidak cek history google map nya sejak kapan hilangnya mangrove ditebang tersebut,” terangnya.
Menurut Suwardi, secara aturan sebelum ada izin reklamasi, tentunya harus ada izin lingkungan dulu, belum boleh melakukan reklamasi. PKKPRL sebagai persyaratan dasar untuk mengurus perizinan berusaha dan non berusaha selanjutnya, misal ijin lingkungan, izin Reklamasi, dll.
“Penebangan mangrove dilakukan karena kondisi yang benar benar karena terpaksa dan karena kepentingan yang benar benar urgent,” tegas Kasub Koordinator Pengelolaan Ruang Laut Jatim, Wahyu W.
Terkait kasus PT BTS, timnya sudah melakukan survei dan tinjau lapangan dan segera dibahas. “Tentunya ada tindakan hukum kalau kesalahannya sudah jelas,” kata Wahyu.@k
Discussion about this post