Oleh: Defiyan Cori
MAHASISWA di berbagai Perguruan Tinggi tiba-tiba menjerit oleh adanya kenaikan UKT yang melejit.
Kenapa tiba-tiba para mahasiswa begitu tersentak oleh kenaikan UKT atau istilah lamanya SPP ini? Padahal, mahalnya memperoleh pendidikan diberbagai jenjang pendidikan (bahkan dasar dan menengah) telah lama terjadi pasca reformasi yang dipelopori juga oleh gerakan kampus.
Lalu, apa artinya gerakan reformasi yang telah bersusah payah dan menimbulkan korban jiwa diperjuangkan dulu sampai menurunkan Presiden Soeharto kala itu yang telah dipilih rakyat melalui mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)?
Maka, soal ini harus dikembalikan kepada insan akademik yang berada di lingkungan ilmiah dan ditinggikan derajatnya dibanding masyarakat di luar kampus.
Namun, apakah soal pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi memang hanya melulu urusan insan akademik yang terkenal keilmiahannya untuk mencari nafkah penghidupan atau tanggungjawab negara melalui pemerintah?
Yang lebih parah dan membuat prihatin adalah munculnya pernyataan dari seorang pejabat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendiibud Ristek), yaitu: pendidikan di Perguruan Tinggi itu kebutuhan tersier bukan sekunder apalagi primer.
Sementara, Presiden di kesempatan lain kaget, bahwa ternyata rasio pendidikan tinggi kita jauh di bawah negara Vietnam, Malaysia dan negara asia lainnya. Mengapa tidak sinkron pernyataan pemimpin dengan para pembantu atau pejabat yang mengurusi pendidikan?
Lalu, apakah itu UKT yang diprotes kenaikannya oleh para mahasiswa dan apa bedanya dengan SPP diera pemerintahan Orde Baru?
Setiap mahasiswa atau calon mahasiswa yang akan mengenyam pendidikan tinggi, salah satu hal yang harus dipersiapkan sebelumnya adalah UKT atau uang kuliah tunggal. Sebenarnya, UKT adalah bentuk lain dari SPP yang dulu dikenal akronim dari Sumbangan Pembinaan Pendidikan atau iuran rutin sekolah yang mana pembayarannya dilakukan secara periodek.
SPP merupakan salah satu bentuk kewajiban setiap siswa/mahasiswa yang masih aktif di sekolah tempat mereka menempuh pendidikan. Dari istilah ini, jelas sekali perbedaan terminologi UKT dan SPP.
Sebagaimana SPP yang juga dibayarkan per semester, maka UKT yang juga merupakan biaya perkuliahan wajib dibayarkan oleh mahasiswa di setiap semester.
Permasalahan UKT ini mencuat setelah salah satu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, di Provinsi Jawa Tengah menaikkan biaya UKT-nya dan kemudian muncul protes dari para mahasiswa.
Pertanyaan yang muncul bagi publik tentu saja adalah apa alasan PTN menaikkan UKT-nya dan untuk kepentingan apa dan siapa kenaikan UKT tersebut? Benarkan civitas akademika di PTN kekurangan dalam melakukan penyelenggaraan pendidikan pasca UUD 1945 menyedikan porsi anggaran sebesar 20 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk sektor pendidikan.
Sepertinya, UKT tidak lagi sama sifatnya dengan SPP yang merupakan iuran dengan kenaikan yang sekonyong-konyong menjulang tinggi.
UKT sudah diposisikan setara dengan harga komoditas oleh kalangan perguruan tinggi untuk memungut uang atau menghimpun dana besar dari para mahasiswa atau calon mahasiswa.
Dan, kalau sudah disamakan posisinya sebagai sebuah komoditas barang/jasa, maka penyesuaian harga atau UKT harus diberlakukan sebagaimana produk/barang/jasa yang diperjualbelikan di pasar.
Dengan berbagai kasus korupsi yang mendera perguruan tinggi atas oknum Rektornya, maka dapat diduga kuat bahwa telah terjadi ekonomisasi dalam dunia pendidikan.
Publik atau para orang tua tentu akan lebih berat bebannya apabila UKT di PTN sampai Rp120.000.000 berapakah yang akan dibayarkan untuk Perguruan Tinggi Swasta, tentulah tidak lebih rendah atau kecil.
Yang lebih prihatin lagi, adalah sikap dari otoritas pendidikan yang menanggapi kasus kenaikan UKT itu justru tidak menyelesaikan masalah mahasiswa.
Mengutip pernyataan Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek Tjitjik Sri Tjahjandarie yang menyampaikan, bahwa pendidikan tinggi di Indonesia belum bisa gratis seperti di negara lain. Alasannya, bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN) belum bisa menutup semua kebutuhan operasional. Artinya, 20 persen alokasi anggaran untuk sektor pendidikan belum cukup juga!?
Sementara, berbagai gaji dan tunjangan para guru dan dosen telah layak serta lebih dari cukup. Oleh karena itu, mendesak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan audit investigatif dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Kemendikbud Ristek atas terjadinya kekurangan anggaran pendidikan tersebut. Sebab, tidak kurang dari Rp600 triliun telah dialokasikan bagi sektor pendidikan dalam APBN setiap tahunnya.@
*) Ekonom Konstitusi
Discussion about this post