SIAGAINDONESIA.ID Polemik perijinan pengerukan lumpur di sepanjang alur pelabuhan barat Surabaya serta lokasi dumping di sekitar pulau Karang Jamuang berlanjut karena PT. APBS tidak transparan. Demikian dikatakan Direktur Jaringan Advokasi Maritim, Laili Azis.
Menurut Azis, APBS belum bisa menunjukkan legalitas perijinan pengerukan lumpur di alur pelabuhan barat Surabaya serta koordinat lokasi dumping tempat pembuangan lumpur hasil pengerukan.
“Di internal Pelindo dan APBS terkesan saling lempar tanggung jawab soal PKKPRL,” jelasnya seraya menambahkan APBS diduga ‘bermain’ lumpur.
Diingatkan olehnya, bulan September lalu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa sejumlah pejabat terkait pengerukan lumpur di alur pelabuhan Tanjung Mas Semarang, Benoa Bali, Samarinda dan Pelabuhan Pulang Pisau.
Sebagai catatan, konfirmasi mengenai kedua hal tersebut di atas sudah dilayangkan siagaindonesia.id tanggal 6 November 2024 kepada Dirut PT. APBS, Agus Hermawan.
“Saya koordinasikan dulu,” balas Agus Hermawan melalui pesan pendek.
Perlu diketahui konfirmasi secara resmi bersurat tersebut atas permintaan Dirut APBS, akan tetapi hingga berita ini tayang belum direspon. Agus Hermawan sempat membalas pesan pendek terkait PKKPRL, menurutnya bukan kewenangannya akan terapi kewenangan Pelindo.
Sementara itu Ketua Forum Masyarakat Kelautan, Maritim dan Perikanan, Oki Lukito menyayangkan APBS tidak transparan soal perijinan keruk dan dumping area.
“Inikan bukan rahasia negara, publik harus tahu aktivitas tersebut karena proyek ini dibiayai APBN mengingat PT. APBS anak perusahaan Pelindo, salah satu papan atas Badan Usaha Pemerintah”. Oki Lukito juga mengingatkan Undang Undang Nomor 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
Dewan Pakar PWI Jawa Timur tersebut mengindikasi dua hal penyebab APBS tidak transparan. Pertama, diduga belum memiliki ijin keruk dan hanya berurusan dengan KSOP Tanjung Perak terkait Surat Ijin Kerja Keruk (SIKK). Kedua, lanjut wartawan senior tersebut, dumping area diduga fiktif. Lumpur hasil pengerukan diduga dibuang di sembarang lokasi untuk menekan biaya transponder.
“Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 125 Tahun 2018 Tentang Pengerukan dan Reklamasi sudah jelas,” tegasnya. Usaha tersebut harus memiliki ijin dan melibatkan konsultan serta membutuhkan AMDAL.
Di Pasal 6 disebutkan di ayat 1 Lokasi Pembuangan Hasil Pengerukan (Dumping Area) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) ditetapkan oleh Penyelenggara Pelabuhan berdasarkan dokumen lingkungan hidup yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang. Demikian pula Lokasi Pembuangan Hasil Pengerukan (Dumping Area) di laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a harus memenuhi ketentuan kedalaman lebih dari 20 (dua puluh) meter low water spring dan/atau jarak dari garis pantai lebih dari 12 (dua belas) Nautical Miles (NM).
“Faktor pengawasannya gimana dan siapa yang mengawasi volume keruk dan lumpurnya dibuang dimana?,” tanya Oki Lukito dengan mimik serius. k/@masduki
Discussion about this post