Oleh: M Rizal Fadillah
LAPORAN Pak Jokowi di Polda Metro Jaya soal pencemaran nama baik dan fitnah itu lucu-lucu sedap. Lucu karena merasa terhina sehina-hinanya akibat dituduh ijazahnya palsu. Ngakak karena belum ada satupun putusan hukum yang menyatakan bahwa ijazah Joko Widodo itu asli. Sedap karena itu merupakan konsumsi lezat untuk menggoreng dokumen kelulusan yang diragukan dan terkait perguruan tinggi ternama UGM.
Pengumuman Bareskrim Mabes melalui Dirtipidum Brigjen Pol Djuhandhani Rahardjo Puro yang menyatakan tidak ada tindak pidana dan menghentikan proses penyelidikan dugaan ijazah palsu Joko Widodo atas Dumas TPUA tidak mengakhiri polemik bahkan menambah panas persoalan. Dittpidum Mabes Polri dinilai terlibat dalam melindungi Joko Widodo. Bau disain penyelamatan melalui aparat penegak hukum menyengat.
Atas dugaan permainan hukum ini Dirtipidum dapat terancam delik “obstruction of justice” karena menghambat dan menghalangi bahkan intervensi dalam proses penegakan keadilan.
Ada tiga unsur “obstruction of justice” yang membayangi pejabat Bareskrim tersebut, yaitu:
Pertama, tindakan tersebut menyebabkan tertundanya proses hukum (pending judicial proceedings).
Kedua, pelaku menyadari perbuatan penundaan (knowledge of pending proceedings).
Ketiga, pelaku mencoba mengganggu atau mengintervensi proses administrasi hukum (acting corruptly with intent).
Upaya menemukan tindak pidana dugaan memalsukan atau menggunakan dokumen palsu dengan tidak berbasis transparansi prosedural dapat menyebabkan terjadinya tindakan sewenang-wenang penyidik/penyelidik. Inilah yang dilihat TPUA atas ketergesa-gesaan atau “kejar tayang” atau “kejar target” Bareskrim Mabes Polri dengan menghentikan penyelidikan demi kebahagiaan terlapor/teradumas Joko Widodo.
Kesewenang-wenangan tersebut terindikasi dengan;
Pertama, gelar perkara sepihak tanpa melibatkan pelapor dan terlapor serta ahli. Kaidah gelar perkara dalam “integrated criminal justice system” telah dilanggar. Akibatnya hasil penyelidikan menjadi cacat hukum.
Kedua, tidak lengkap dan tuntas. Saksi terkait yang semestinya diklarifikasi ternyata tidak dimintakan keterangan seperti Dr Rismon, Dr Roy Suryo, Ir. Kasmudjo, Prof Pratikno dan Aida Greenbury puteri Prof Dr Ir Ahmad Sumitro.
Ketiga, uji forensik hanya atas fisik bermetode “raba cekungan” untuk menyimpulkan kerja handpress dan letterpress adalah simplifikasi. Prinsip kelengkapan “scientific crime investigation” diabaikan. Pembanding untuk menguji identifikasi tidak jelas dan diragukan.
Keempat, pertanyaan dasar publik apakah foto dalam ijazah benar Joko Widodo ternyata tidak terjawab. Tidak ada pengujian “face recognation” atasnya. Demikian juga cap merah “di dalam” foto. Metode Red Green Blue (RBG) untuk uji kepalsuan diabaikan.
Kelima, manipulatif untuk uji identik tidak identik tetapi hasil dan framingnya adalah otentik atau asli. Bareskrim tidak berhak memvonis. Pengadilan yang berwenang. Itupun setelah ada proses melalui Kejaksaan terlebih dahulu.
Tanpa keberanian Jokowi untuk menunjukkan sendiri ijazah “asli” yang dimilikinya di hadapan publik adalah sinyal akan adanya “something wrong” pada ijazah dan skripsinya. Wajar sampai kapanpun rakyat Indonesia akan tetap menduga bahwa dokumen Joko Widodo dari UGM adalah palsu. Pengumuman “keaslian” oleh Bareskrim hanya membuat kegaduhan baru dan semakin tidak pastinya status ijazah hantu (ghost diploma) itu.
Jadi sebenarnya tidak ada pencemaran nama baik atau fitnah Joko Widodo yang dapat ditindaklanjuti oleh Kepolisian selama ijazah dan skripsi Joko Widodo itu masih menjadi hantu.
Hantu yang terus bergentayangan untuk mencari korban atau sekedar menakuti anak-anak.
Semoga Dirtipidum tidak bergeser menjadi “Dirtypidum”.@
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Discussion about this post