Oleh: Radhar Tribaskoro
KETIKA Jenderal (Purn) A.M. Hendropriyono menyatakan bahwa Indonesia tengah memasuki masa kritis, di mana perubahan sistem dunia akan ditandai oleh tabrakan dua kekuatan besar—Amerika Serikat dan Tiongkok—beliau menegaskan sesuatu yang tidak terbantahkan. Kita memang hidup di era pergeseran besar: dari dunia unipolar menuju multipolar, dari multilateralisme menuju unilateralisme, dari liberalisme global ke nasionalisme populis. Semua ini menciptakan gelombang besar yang harus dinavigasi oleh negara-negara berdaulat, termasuk Indonesia.
Presiden Prabowo, seperti yang diyakini banyak kalangan, memang menghadapi tantangan luar biasa. Dalam skema global yang tidak stabil, dengan kompetisi geopolitik yang kian tajam, dibutuhkan kecerdasan strategis dan kebijaksanaan taktis untuk menjaga kedaulatan dan masa depan Indonesia. Dalam analogi Prabowo sendiri, ini seperti mengarungi lautan yang bergolak dengan perahu layar yang rapuh: perlu ketahanan, arah yang benar, dan awak kapal yang solid.
Namun di titik ini, perlu diajukan pertanyaan penting: dalam dunia yang kacau dan penuh ketidakpastian ini, di mana letaknya etika dan moralitas? Apakah benar bahwa seruan moral, seperti yang diajukan oleh Forum Purnawirawan Prajurit TNI, hanya persoalan sepele? Apakah patut menyebutnya sebagai sesuatu yang “kampungan”, seperti yang dinyatakan oleh Jenderal (Purn) Luhut Binsar Panjaitan?
Moralitas: Titik Awal Kemenangan atau Kekalahan
Kita perlu mengingat bahwa dalam doktrin militer klasik sekalipun, moralitas bukanlah ornamen tambahan yang bisa ditanggalkan saat dunia berubah. Dalam setiap konflik besar, jatuhnya moral adalah awal kekalahan. Carl von Clausewitz dalam karya klasiknya On War menegaskan bahwa semangat (moral forces) merupakan komponen sentral dalam kekuatan perang, setara dengan logistik dan strategi.
Militer Indonesia, khususnya TNI, sangat memahami konsep ini. Sebagai lembaga yang sejak awal didirikan dengan semangat perlawanan rakyat, moralitas dan etika bukan sekadar jargon—ia adalah identitas. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kemenangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya pada 1945–1949 tidak semata-mata hasil kekuatan senjata, tetapi juga karena keunggulan moral melawan kolonialisme.
Maka ketika Forum Purnawirawan mengajukan seruan moral terkait kepemimpinan dan arah demokrasi di Indonesia, itu bukan soal sepele. Justru di tengah gejolak global, ketika negara dituntut untuk menguatkan ketahanan nasional secara komprehensif—termasuk moral defense—suara-suara seperti ini sangat penting.
Tantangan Global Tidak Membenarkan Amnesia Etika
Adalah kekeliruan berpikir jika kita menganggap bahwa tantangan eksternal membenarkan kita mengabaikan koreksi dari dalam. Kedaulatan bangsa tidak hanya ditentukan oleh kuatnya militer atau besarnya anggaran pertahanan, tetapi juga oleh integritas pemerintahan, kepercayaan rakyat, dan kekuatan moral dari pemimpin dan institusinya. Negara-negara yang runtuh dalam sejarah modern bukan hanya karena serangan asing, melainkan karena kehancuran moral dari dalam.
Ambil contoh klasik: Uni Soviet. Kekalahan ideologis dan kemerosotan kepercayaan internal jauh lebih menentukan dari jatuhnya kekuatan militernya. Jika moralitas aparat dan elite hancur, negara menjadi rentan dari luar dan dalam.
Itulah mengapa petisi Forum Purnawirawan yang menyoroti degradasi etika dan mendorong evaluasi kepemimpinan nasional, khususnya terkait proses pemilu dan pemilihan wakil presiden, harus dibaca sebagai bentuk early warning system. Mereka yang berbicara bukan aktivis partisan, melainkan mantan jenderal dan purnawirawan yang selama puluhan tahun mendedikasikan hidupnya untuk menjaga republik ini.
Menjaga Republik dengan Etika
Forum Purnawirawan, dalam pernyataannya, tidak mengajak pemberontakan, tidak pula menyuarakan agitasi kekerasan. Mereka menyuarakan hal-hal yang justru menjadi fondasi demokrasi: transparansi, etika, integritas pemilu, dan tanggung jawab moral para pemimpin.
Sungguh tidak layak menyebut sikap semacam itu sebagai “kampungan”. Jika ada yang “kampungan”, mungkin justru ketidakmampuan sebagian elite hari ini untuk mengakui bahwa sistem telah diselewengkan, bahwa rakyat gelisah, dan bahwa bangsa ini membutuhkan koreksi. Merendahkan suara nurani hanya akan mempercepat proses delegitimasi, bukan menanganinya.
Pemimpin Besar Tidak Takut pada Kritik
Presiden Prabowo, dengan visi kenegarawanan yang tinggi, perlu menyambut petisi Forum Purnawirawan sebagai bagian dari dinamika sehat. Dalam sejarah bangsa-bangsa besar, pemimpin yang mampu mengelola kritik dengan bijaksana akan dikenang lebih baik dibanding mereka yang menumpuk kekuasaan tapi membungkam suara-suara nurani.
Negara ini tidak kekurangan orang pintar, tetapi sangat membutuhkan orang yang berani berbicara benar. Di masa-masa penuh turbulensi, bukan hanya strategi yang menyelamatkan bangsa, tapi juga kejujuran dan keberanian moral.
*Moral Adalah Perisai Terakhir*
Dunia memang sedang berubah cepat. Tetapi dalam gejolak itu, yang tidak boleh kita tinggalkan adalah akal sehat dan nurani. Ketika sistem politik mengalami tekanan luar biasa dari dalam dan luar negeri, dan ketika demokrasi terguncang oleh berbagai manuver kekuasaan, suara-suara yang mengingatkan pada moralitas justru harus dijaga.
Moral bukanlah barang mewah dalam politik. Ia adalah perisai terakhir saat semua mekanisme formal tak lagi bekerja. Dan jika kita masih ingin hidup dalam republik yang layak diwariskan kepada generasi berikutnya, maka suara Forum Purnawirawan bukanlah masalah sepele. Ia adalah bagian dari energi demokrasi yang sedang mencoba menyelamatkan bangsa ini dari jatuh lebih dalam.@
*) Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia
Discussion about this post