Oleh: Radhar Tribaskoro
DALAM kehidupan politik modern, khususnya di negara-negara yang mengklaim diri sebagai demokrasi, kerap muncul godaan untuk memperlakukan kemenangan dalam pemilu sebagai satu-satunya sumber legitimasi.
Seolah-olah, setelah seorang kandidat memperoleh suara terbanyak dan dinyatakan menang secara prosedural, semua pertanyaan tentang moralitas, keadilan, dan kelayakan kepemimpinannya menjadi tidak relevan lagi.
Pandangan seperti itu tidak hanya dangkal, tetapi juga berbahaya.
Demokrasi sejati, sebagaimana digagas oleh para pendiri republik ini, tidak pernah hanya tentang siapa yang menang. Ia adalah tentang cara bagaimana kekuasaan diperoleh dan bagaimana kekuasaan itu dijalankan. Demokrasi, dalam bentuknya yang paling luhur, adalah janji bahwa kekuasaan hanya sah bila diperoleh dengan adil, dijalankan dengan kejujuran, dan dipertanggungjawabkan dengan rendah hati kepada rakyat.
Dalam konteks ini, tuntutan Forum Purnawirawan TNI agar MPR memakzulkan Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka mengungkap luka yang dalam dalam demokrasi kita.
Tuntutan tersebut, apapun penilaian kita terhadap dasar hukumnya, harus dipandang bukan sekadar sebagai ekspresi politik, tetapi sebagai seruan moral: bahwa kemenangan prosedural saja tidak cukup untuk menegakkan martabat sebuah pemerintahan.
Hukum sebagai Fondasi, Moralitas sebagai Jiwa
Konstitusi Indonesia mengatur bahwa presiden dan wakil presiden hanya dapat diberhentikan dalam masa jabatannya apabila terbukti melanggar hukum berat seperti pengkhianatan, korupsi, atau perbuatan tercela.
Pemakzulan bukan tindakan politis biasa. Ia adalah prosedur hukum yang luar biasa, yang hanya boleh dijalankan dengan bukti yang kuat, melalui mekanisme yang ketat, dengan persetujuan Mahkamah Konstitusi sebelum diputuskan oleh MPR.
Dalam kerangka hukum ini, pemakzulan terhadap Gibran tidak dapat semata-mata diputuskan berdasarkan ketidakpuasan politik atau keresahan moral.
Tanpa bukti hukum yang kuat, dorongan itu justru berisiko merusak prinsip negara hukum yang menjadi fondasi demokrasi kita.
Negara hukum mengajarkan bahwa semua tindakan harus berdasar pada hukum positif, bukan pada tekanan massa atau kekuatan opini.
Tetapi, di sinilah letak paradoks demokrasi: hukum tanpa moralitas hanya menjadi instrumen formalitas kosong.
Kemenangan dalam pemilu yang dipenuhi manipulasi prosedural, konflik kepentingan, dan pelanggaran etika fundamental tetap berisiko merusak legitimasi moral kekuasaan, meskipun seluruh tahapan hukum formal dilalui.
Dalam kasus pencalonan Gibran, perubahan syarat usia calon presiden dan wakil presiden oleh Mahkamah Konstitusi — yang dipimpin oleh paman Gibran sendiri — menjadi titik awal krisis kepercayaan ini.
Meski prosedurnya seolah berjalan sah, banyak pihak memandang bahwa esensinya telah melanggar prinsip keadilan, integritas, dan kenegarawanan yang seharusnya membimbing proses politik nasional.
Demokrasi sebagai Komitmen Moral
Demokrasi bukan hanya sistem penghitungan suara. Ia adalah perjanjian moral antara rakyat dan pemimpinnya. Demokrasi menjanjikan bahwa kekuasaan akan lahir dari kehendak rakyat yang bebas, jujur, dan adil — bukan dari manipulasi sistem atau rekayasa hukum untuk melayani kepentingan pribadi atau kelompok sempit.
Karena itu, sah atau tidak sah secara hukum hanyalah satu sisi dari mata uang legitimasi. Sisi lainnya — yang tak kalah penting — adalah apakah kekuasaan itu diperoleh dan dijalankan dengan keutamaan moral.
Tuntutan Forum Purnawirawan TNI, pada esensinya, menyoroti sisi moral ini.Mereka mengingatkan bahwa demokrasi kita telah dirusak bukan hanya oleh pelanggaran prosedur hukum, tetapi oleh pengabaian terhadap nilai-nilai keadilan dan etika.
Bahwa bangsa ini — yang lahir dari perjuangan luhur, bukan dari rekayasa hukum — pantas mendapatkan pemimpin yang bukan hanya menang di bilik suara, tetapi juga layak dihormati di hati rakyat.
Membangun Kultur Politik yang Beretika
Pertanyaan penting yang harus diajukan hari ini bukan semata-mata apakah Gibran dapat dimakzulkan. Pertanyaan yang lebih mendasar adalah: mau ke mana bangsa ini melangkah setelah luka ini terbuka?
Membangun kultur pemerintahan yang menghormati hukum dan demokrasi menuntut lebih dari sekadar memperbaiki prosedur teknis. Kita harus membangun ulang kesadaran bahwa kekuasaan politik adalah amanah, bukan hak mutlak. Bahwa memenangkan pemilu bukan berarti memenangkan izin untuk mengabaikan etika, hukum, dan suara hati rakyat.
Pendidikan politik masyarakat, reformasi lembaga-lembaga penegak hukum, penguatan peran masyarakat sipil, dan keteladanan moral dari para pemimpin politik menjadi syarat mutlak.
Tanpa itu, demokrasi Indonesia akan terus terjebak dalam siklus formalitas kosong: pemilu diadakan, pemenang diumumkan, tetapi kepercayaan publik terkikis setiap saat.
Lebih berbahaya lagi, bila rakyat mulai percaya bahwa perubahan hanya bisa terjadi di luar jalur hukum. Ketidakpercayaan terhadap mekanisme formal akan mendorong radikalisasi, ketegangan sosial, dan pada akhirnya, kehancuran demokrasi itu sendiri.
Jalan Tengah: Menjaga Prosedur, Merawat Moral
Dalam menghadapi tuntutan pemakzulan ini, bangsa Indonesia dihadapkan pada dilema besar. Menolak semua tuntutan perubahan dengan alasan prosedural belaka akan memperdalam frustrasi rakyat. Namun, menyerah pada tekanan tanpa dasar hukum kuat akan membuka pintu pada politik tanpa aturan.
Maka, jalan tengah yang bijak adalah menghormati prosedur hukum sambil memperjuangkan pemulihan moralitas demokrasi.
Secara konstitusional, bila ada dugaan pelanggaran berat oleh Gibran, maka jalurnya jelas: DPR, Mahkamah Konstitusi, dan MPR. Tetapi secara moral, siapapun yang kini memegang kekuasaan — termasuk Gibran — harus sadar bahwa luka kepercayaan publik ini tidak akan sembuh hanya dengan prosedur hukum.
Butuh tindakan nyata untuk menunjukkan bahwa kekuasaan ini dijalankan dengan integritas, keberpihakan kepada rakyat, dan keberanian untuk memperbaiki ketidakadilan yang telah terjadi.
Penutup: Demokrasi sebagai Proyek Moral Bangsa
Demokrasi adalah proyek moral jangka panjang. Ia tidak sekadar memilih pemimpin, tetapi membangun bangsa. Ia tidak hanya mengatur kekuasaan, tetapi juga mendidik generasi masa depan tentang keadilan, kejujuran, dan tanggung jawab.
Tuntutan pemakzulan terhadap Gibran adalah cermin bahwa bangsa ini belum kehilangan nuraninya. Bahwa di tengah semua manipulasi prosedur dan kompromi kepentingan, masih ada suara-suara yang menuntut agar demokrasi ditegakkan dengan integritas.
Kini tugas kita adalah memastikan bahwa suara-suara itu tidak diarahkan untuk meruntuhkan negara hukum, tetapi untuk memperdalam demokrasi kita — menjadikannya bukan sekadar soal siapa yang menang, tetapi siapa yang layak memimpin.
Indonesia tidak kekurangan orang yang ingin berkuasa. Yang dibutuhkan bangsa ini adalah pemimpin yang paham bahwa memenangkan kepercayaan rakyat lebih berat daripada memenangkan suara rakyat.
Dan dalam demokrasi sejati, itulah ukuran keberhasilan yang paling agung.@
*) Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia
Discussion about this post