Oleh: TG. DR. Miftah el-Banjary, MA
VIRAL postingan seorang dokter ahli bedah kandungan yang berbicara hukum Islam, tapi aslinya bodoh, yang bukan menjadi wilayah kepakaran dan profesionalis keilmuannya.
Terkait hal tentang status TS (SC ada dilampirkan di bawah tulisan ini) yang menyatakan bahwa tidak ada larangan bagi wanita haidh/datang bulan melaksanakan perintah shalat. Dalil yang dia kutip dari surah al-Baqarah ayat 45; yang sebenarnya sangat “jauh panggang dari api” dan sama sekali tidak sesuai antara teks dan konteks ayat atau “gagal paham” alias “asal comot ayat”.
Sejatinya ayat yang didalilkan merupakan anjuran untuk menjadikan shalat dan kesabaran sebagai perisai itu, bukan terkait konteks hukum keabsahan shalat ketika haid bagi perempuan.
Alih-alih betul berdalil secara nash Qur’ani, sebetulnya ayat itu bukan termasuk kategori Ayat-Ayat Hukum, melainkan terkait yang bersifat “Mauidzhah” dan “Irsyadat” atau ayat-ayat Tarbiyah dalam al-Qur’an. Inilah perlunya paham cara mengambil ayat sebagai pendalilan, bukan asal kutip saja.
Baik, secara dalil saya cukup ambilkan satu dalil saja di dalam al-Qur’an terkait kesepakatan para Imam Mazhab pada hukum larangan shalat dan berpuasa bagi wanita haidh, nifas, wiladah dan semisalnya pada firman Allah Swt pada surah al-Baqarah ayat 222 demikian ayatnya Allah Swt berfirman:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Selanjutnya, dalil haditsnya ada terdapat di dalam Shahih Bukhari dan Muslim dimana ketika Nabi Saw memerintahkan pada Fathimah binti Abi Habisy untuk meninggalkan shalat manakala sedang datang bulan dari sumber periwayatan yang mutawatir.
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: دعي الصلاة قدر الأيام التي كانت تحيضين فيها ثم اغتسلي وصلّي
Nabi Saw bersabda: “Tinggalkan shalat (sekedar waktu haid) beberapa hari ketika engkau sedang haidh, kemudian (selesai) haidh mandilah dan shalat lah.” [HR. Bukhari Muslim]
Lebih detilnya, sudah banyak penjelasan para pakar syariah lainnya yang akan menjelaskan hukum terkait hukum Haid, Nifas, Wiladah dan lainnya yang terkait keharaman shalat bagi perempuan.
Jadi, saya kira saya pun tidak perlu menjawab berpanjang lebar, sebab semua hukumnya jelas, jika dia mau betul-betul mengaji dengan pakarnya. Kalau “ngasal” lain lagi ceritanya. Itu “nyeleneh”. Bahaya “nyeleneh” terkait hukum syariat itu membawa jatuh pada kekufuran. Ini menurut ittifaq ijtihad dan fatwa para ulama.
Baik, pada tulisan kali ini saya hanya ingin menjelaskan tentang bagaimana dampak kesalahan memahami al-Qur’an secara otodidak, tanpa guru, tanpa dasar, apalagi menggunakan terjemahan al-Qur’an tok. Ini berbahaya, jika dibiarkan, tanpa ada edukasi secara literasi publik.
Ok, dalam memahami makna al-Qur’an dengan hanya berbekal Mushaf al-Qur’an Terjemah itu tidak cukup. Bukan sekedar tidak memadai sama sekali, boleh jadi gagal paham, bahkan menyesatkan. Serius. Kok bisa?!!
Allah SWT telah memilih bahasa Arab sebagai bahasa wahyu al-Qur’an yang menjadi mukjizat terbesar bagi Nabi Muhammad serta umat nabi sepanjang zaman. Pemilihan bahasa Arab ini bukan tanpa alasan, ada banyak alasan yang mendasari mengapa bahasa Arab terpilih menjadi bahasa al-Qur’an.
Salah satunya, disebabkan kekayaan serta keluasan makna yang mampu ditampung oleh bahasa Arab dalam mengikat pesan-pesan wahyu Ilahiyyah.
Mengapa al-Qur’an berbahasa Arab?
Ya, karena memang turunnya di Jazirah Arab -sebagaimana yang dipahami oleh kebanyakan orang- juga bukan pula satu-satunya alasan yang benar. Nampaknya juga bukan argumentasi yang ilmiah dan tepat.
Memanglah, jika dibandingkan bahasa-bahasa lainnya di dunia, bahasa Arab merupakan satu-satunya bahasa yang paling kaya dengan sinonim atau padanan kata, antonim; lawan kata, homonim; makna ganda.
Dengan kata lain, bahasa-bahasa di dunia, termasuk bahasa Indonesia dan bahasa Melayu memanglah sangat terbatas (kalau tidak ingin kita katakan miskin) dalam hal perbendaharaan kosakata.
Sebagai contoh, bayangkan saja untuk menyebut kata madu saja, dalam bahasa Arab terdapat 80 padanan kata. Untuk menyebut singa ada 500 kosakata. Bahkan, varian mufradat untuk menyebut nama pedang dan jenisnya, terdapat tidak kurang dari 1.000 kosakata. Bahasa Indonesia, berapa perbandingan dalam hal padanan kosakata dengan bahasa Arab?!!
Bukankah kebanyakan bahasa Indonesia atau Melayu persentasi terbesarnya merupakan serapan dari bahasa Arab, India, Persia, Inggris, Belanda, Prancis dan bahasa lainnya di dunia?!!
Belum kalau kita bicara soal, [التضاد] At-Thadad atau antonim yang setiap pasangan atau lawan kata selalu menunjukkan keserasian dan keseimbangannya yang harmonis. Kata “al-Lail” dan “an-Nahr” menunjukkan makna waktu malam dan siang atau kesan gelap dan terang yang sangat kontras.
Bahkan, soal pembahasan [المشترك اللفظي] “al-Musytarak Lafdzhi” (Homonim) menempati persoalan terpenting dalam memahami serta mengurai makna ganda atau majazi.
Sebagai contoh, kata “Al-Imam” [الإمام] secara harfiah artinya pemimpin umat. Ini makna tekstualnya. Akan tetapi, makna tekstual ini tidak dapat dijadikan sebagai makna tunggal dalam mengartikan teks-teks al-Qur’an, sebab ada wilayah “al-Musytarak al-Lafdzhi” yang mesti dipahami.
Kata “Imam” bisa bermakna ganda dalam beberapa konteks al-Qur’an, antara lain:
1. “Al-Imam” bermakna “Pemimpin” bagi orang Mukmin. Sebagaimana firman Allah Swt pada surah al-Furqan 74:
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
2. “Al-Imam” bermakna “Kitab” catatan amal. Sebagaimana firman Allah Swt di dalam al-Qur’an pada surah al-Isra 71:
يَوْمَ نَدْعُوا۟ كُلَّ أُنَاسٍۭ بِإِمَٰمِهِمْ
3. “Al-Imam” bermakna “Jalan yang Lurus”, sebagaimana firman Allah Swt di dalam al-Qur’an pada surah al-Hijr 79:
فَٱنتَقَمْنَا مِنْهُمْ وَإِنَّهُمَا لَبِإِمَامٍۢ مُّبِينٍۢ
Kita akan menemukan satu kosakata “Al-Imam” , namun berbeda-beda makna dan konteksnya, berbeda pula tafsirnya, meski sekali lagi dengan kosakata yang sama, yaitu “al-Imam”.
Ok, contoh lainnya saya paparkan biar lebih jelas dan sekaligus menjadi wawasan pengetahuan bagi kita semua, semisal kata [الأم] al-Umm secara harfiah artinya “ibu” atau “induk”.
Akan tetapi, makna tekstual ini juga tidak mesti dapat dijadikan sebagai makna satu-satunya dalam menterjemahkan al-Qur’an. Kata “Al-Umm” bisa bermakna ganda dalam beberapa konteks al-Qur’an, antara lain:
1. “Al-Umm” bermakna “Agama”. Sebagaimana firman Allah Swt pada surah al-Baqarah 213:
كَانَ النَّاسُ اُمَّةً وَّاحِدَةً
2. “Al-Umm” bermakna “Masa waktu” datangnya hari kiamat. Sebagaimana firman Allah Swt di dalam al-Qur’an pada surah Hud 8:
وَلَٮِٕنۡ اَخَّرۡنَا عَنۡهُمُ الۡعَذَابَ اِلٰٓى اُمَّةٍ مَّعۡدُوۡدَةٍ
3. “Al-Umm” bermakna “Golongan Manusia”
Sebagaimana firman Allah Swt di dalam al-Qur’an pada surah an-Nahl 92:
أَن تَكُونَ أُمَّةٌ هِىَ أَرْبَىٰ مِنْ أُمَّةٍ
4. “Al-Umm” bermakna “Teladan yang Baik”
Sebagaimana firman Allah Swt di dalam al-Qur’an pada surah an-Nahl 120:
اِنَّ اِبۡرٰهِيۡمَ كَانَ اُمَّةً قَانِتًا لِّلَّهِ حَنِيۡفًاؕ وَلَمۡ يَكُ مِنَ الۡمُشۡرِكِيۡنَۙ
Walhasil, satu kata dalam bahasa Arab boleh jadi memiliki makna ganda. Di atas hanyalah salah satu contoh paling terkecil saja dari fenomena perlunya kemampuan memahami keluasaan serta kekayaan bahasa Arab sebelum berbicara tentang hukum al-Qur’an.
Termasuk juga dalam al-Qur’an sendiri juga terdapat ribuan ayat-ayat konstektual yang bermakna ganda yang maknanya lebih dari satu makna alias makna ganda yang termasuk kategori “Musytarak Lafdhzi” yang mau tidak mau mesti harus dipahami dan dikuasai dalam menafsirkan al-Qur’an.
Intinya, harus dipahami bahwa berbeda konteks ayat berbeda pula maknanya. Oleh karena itulah, di dalam Ilmu Dilalah [علم الدلالة] Ilmu Makna ada yang dinamakan “Makna Dilalah as-Siyaqiyyah” atau Makna Kontekstual.
Fenomena ini hanya baru sebatas kekayaan Mufradat dalam Bahasa Arab saja alias kosakatanya lho, belum lagi masuk ranah struktur kalimat serta makna semantik hingga aspek keindahan sastranya. Belum apa-apa lagi dibandingkan kekayaan bahasa Arab dari berbagai aspek kajian kebahasaan.
Belum lagi persoalan, ushul Fiqhnya bila terkait Istinbath al-Ahkam as-Syar’iyyah. Malah makin “ramat-rumit” lagi bila masuk pembahasan ,”Ayat-Ayat Muhkam, Mutasyabihat, Mujmal, Al-‘Am, Al-Khas, Muqayyad, dan lain sebagainya. Perlu pula kemampuan khusus mengenali ayat-ayat yang memiliki Asbabun Nuzul, Asybah wa Nazair, Korelasi Ayat dan Surah dan lain sebagainya. Ini belum bicara kaitan antara ayat dengan hadits-hadits Nabi lho.
Contoh lain, perbedaan pendapat di kalangan ahli Fuqaha tentang tafsir “Tsalatsa Quruu” yang boleh jadi bermakna “3x haid” atau “3x suci”. Hal ini juga terkait terkait kasus “Musytarak Lafdzhi” di atas yang tidak akan boleh dicampuri pendapatnya, melainkan ahli pakar dibidangnya, bukan dokter yang ngaku-ngaku berilmu agama.
Oleh karena itulah, jika hanya bermodalkan “Terjemahan Al-Qur’an” untuk memahami al-Qur’an, apalagi berani-berani berfatwa dengan al-Qur’an terjemahan, boleh jadi kesalahan terkecilnya akan “gagal paham” dalam memaknai kosakata yang tepat dan semestinya. Kesalahan fatalnya, jika fatwanya diikuti orang-orang yang lebih bodoh lagi, lalu menganggap sebagai sebuah kebenaran.
Kesalahan fatal semacam ini, awalnya diakibatkan munculnya orang-orang begitu semangat beragama, namun sayangnya ilmunya belum lagi tahu apa-apa terkait keilmuan kebahasa-Araban, apalagi keilmuan bidang Ulumul Qur’an atau Tafsir al-Qur’an, akan tetapi dibiarkan dan didiamkan oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan yang selayaknya bicara, hingga dia merasa pemahaman itu benar, diamini oleh banyak orang, padahal faktanya jelas sesat dan menyesatkan.
Seorang ahli medis jika sudah berani masuk wilayah keilmuan syariah tanpa dasar keilmuan akan menyesatkan, sama seperti seorang ustadz tanpa pengetahuan medis sama sekali berani beropini tentang dunia bedah jantung.
Bayangkan jika seorang ustadz guru ngaji bicara soal operasi “cangkok” jantung hanya dari bacaan, lalu dia pun “terlampau lancang” mempraktekkannya hanya dengan modal pisau dapur seadanya, lalu si pasien yang harusnya bisa sehat, akhirnya mati meregang nyawa di tangan ustadz “gadungan”. Bisa-bisa geger dunia permedisan, lalu si pasien Begitu kira-kira analoginya. Ambyar..
Pesannya, jika bukan ahli dan pakarnya dalam bidang keprofesiannya, jangan sok bicara, sebab jika seseorang yang bukan ahli berkomentar, maka tunggulah kekacauannya. Jangan berani menafsirkan al-Qur’an, apalagi berfatwa tanpa didasari keilmuan bahasa Arab yang mumpuni.
Jangan sampai munculnya kenyataan hadits Nabi Saw tentang fenomena akhir zaman dimana akan bermunculan para orang-orang bodoh yang berani berbicara tentang hukum syariat, tanpa keilmuan sama sekali terkait dasar hukum syariat. Nauzubillah.
Wallahul Musta’an.@
*) Pengasuh Majlis Dalail Khairat Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam & Pimpinan Ponpes Dirasat al-Qur’an wal Hadits Dalail Khairat Tabalong