Oleh: M Rizal Fadillah
PERKARA Perdata gugatan PMH di Solo dan Sleman harus jadi penyelesaian soal dugaan kuat ijazah palsu Joko Widodo. Bersandar pada Peraturan MA No 1 tahun 1956 maka kedudukan proses peradilan perdata menjadi kuat dan dapat sebagai dasar kelak bagi proses hukum lainnya. Perkara pidana pun semestinya ditunda.
Menarik pandangan mantan Ketua MK Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH MH bahwa kasus dugaan ijazah palsu Joko Widodo jangan diselesaikan dalam peradilan pidana karena hakekatnya hal ini adalah “mengadili ijazah” bukan mengadili “orang”. Menentukan status ijazah adalah primer. Menurutnya yang tepat adalah Pengadilan Tata Usaha Negara karena ijazah itu produk dari sebuah lembaga administrasi.
Hanya sayang, menurutnya apabila kini diajukan gugatan TUN maka hal itu tentu tidak diterima (NO) sebab telah kadaluwarsa. Oleh karenanya jalan yang dapat ditempuh adalah peradilan perdata dengan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Apa yang dilakukan oleh Dr. M. Taufik, SH di PN Surakarta dan Komardin, SH di PN Sleman dinilai tepat.
Merujuk dari gugatan perdata TPUA di PN Jakarta Pusat dengan Penggugat Bambang Tri, Muslim Arbi, Hatta Taliwang, Rizal Fadillah, dan Taufik Bahaudin berakhir dengan Putusan Sela Niet Onvankelijke Verklaard (NO). Gugatan atas Joko Widodo, Ketua DPR, Mensesneg, Menristekdikti, Ketua KPU, Rektor UGM dan Menkeu dinyatakan tidak diterima. Fase pembuktian ijazah pun tidak terjadi.
NO adalah senjata hakim untuk menghindari putusan berisiko dan atau menjalankan perintah kekuasaan agar tidak ada sarana pembuktian hukum bahwa ijazah itu palsu. Ini secara tidak langsung dapat menjadi modus dari sebuah kejahatan hukum yang terjadi di dalam ruang pengadilan (contempt of court).
Di balik kebebasan memutuskan maka terdapat disain sistematis yang konstan secara bertingkat.
NO dapat bersama Putusan akhir jika bukan kompetensi absolut, namun untuk ketidakwenangan mengadili maka Putusan sela menghentikan proses. Artinya Pokok Perkara tidak diperiksa. Disinilah peradilan perdata tidak mampu membuktikan asli atau palsu ijazah itu. Jika setiap peradilan perdata berulang, saat TUN telah daluwarsa, dan pidana tidak kompeten mengadili ijazah sebagaimana pandangan Prof. Jimly Asshiddiqie, maka bencana hukum tengah terjadi.
Sumber bencana itu adalah Joko Widodo. Dengan dugaan kuat atas ijazah palsunya. Joko Widodo memang sumber dari segala bencana. Bencana politik, ekonomi, budaya, dan moral. Terjadi selama 10 tahun memerintah bahkan setelahnya. Makhluk macam apa sesungguhnya Jokowi itu? Orang mengaitkan dengan Fir’aun. Lorong waktu pencipta figur baru untuk merusak. Hukum pun menjadi anomali dan diacak-acak.
Peristiwa pengumuman hasil penyelidikan Bareskrim Mabes Polri yang berbau kerja, pemihakan, dan perlindungan atas Joko Widodo menggambarkan rusaknya hukum oleh peran Joko Widodo. Setingkat Mabes Polri pun rela mempertaruhkan reputasi demi seorang Jokowi. Identik dan non identik yang berubah menjadi otentik. Identifikasi artifisial untuk menciptakan keaslian palsu. Ratusan juta rakyat telah ditipu dengan framing abu-abu.
Kini tinggal kesadaran untuk mengoreksi. Yang ditunggu adalah gelar perkara baru yang lebih terbuka dan jujur. Beri kesempatan publik untuk ikut terlibat dalam membaca data dan fakta. Yang asli tidak boleh diubah menjadi palsu, demikian juga yang palsu jangan disebut asli.
Keadilan harus ditegakkan walaupun langit runtuh “fiat justitia ruat caelum“.
Polisi itu presisi bukan politisi atau pembela Jokowi apalagi tukang kriminalisasi.@
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Discussion about this post