Oleh: Defiyan Cori
PADA saat kampanye tahun 2014, calon Presiden Joko Widodo pernah menyampaikan janji akan membesarkan Pertamina dan tidak akan mengimpor Bahan Bakar Minyak (BBM) atau minyak lagi. Setelah terpilih selama dua (2) periode (2014-2019 dan 2019-2024), bagaimana sebenarnya realisasi janji disektor minyak dan gas bumi (Migas) ini?
Lalu, jika tidak terdapat pengurangan impor bagaimana sebenarnya kinerja Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai satu-satunya operator sektor Migas di Indonesia?
Di tengah pasar monopoli yang merupakan mandat konstitusi ekonomi (Pasal 33 UUD 1945) semestinya Direktur Utama Pertamina beserta jajaran Direksinya mempunyai peta jalan (road map) dalam mengatasi ketergantungan atas produk impor BBM ini.
Mengacu pada data yang dipublikasikan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), yang diuraikan dalam ‘Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia 2022’, disebutkan bahwa impor produk kilang seperti BBM pada tahun 2022 berjumlah 27,86 juta kilo liter (kl) atau mengalami kenaikan 12,6% dibandingkan impor pada tahun 2019 yang tercatat sejumlah 24,73 juta kl.
Secara berurutan data impor produk BBM Indonesia periode 2019-2022 masing-masing sebagai berikut: 2019: 24,73 juta kl, 2020: 19,93 juta kl, 2021: 22,09 juta kl, dan 2022: 27,86 juta kl.
Impor tersebut terdiri dari berbagai jenis BBM seperti RON 90, RON 92, RON 95, avtur, avgas, solar (gasoil), naphta, HOMC, dan MDF. Adapun impor terbesar terpantau pada BBM jenis RON 90, dibandingkan dengan jumlah impor pada jenis BBM lainnya. Impor BBM RON 90 pada 2022 tercatat mencapai 15,11 juta kl, melonjak 86% dari impor pada 2021 yang sebesar 8,14 juta kl.
Bila dibandingkan 2019 yang tercatat sebesar 11,08 juta kl, artinya impor BBM RON 90 melonjak 36%. Jenis BBM yang merupakan produk dengan jumlah impor terbesar kedua pada tahun 2022 yaitu solar (gasoil) yaitu sejumlah 5,27 juta kl atau terdapat kenaikan sebesar 65% dibanding impor tahun 2021 yang hanya berjumlah 3,19 juta kl. Sedangkan, pada tahun 2019, impor gasoil ini tercatat lebih besar yaitu sejumlah 3,87 juta kl atau berselisih 6,8 juta kl terhadap tahun 2021.
Sementara itu, konsumsi BBM antara tahun 2015-2020 datanya memang menunjukkan peningkatan sejumlah 1,2 juta kl per tahun, kecuali pada masa pandemi Covid19 melanda pada tahun 2020 yang berimplikasi pada menurunnya jumlah konsumsi BBM akibat pembatasan aktifitas transportasi.
Jenis kendaraan yang terbesar konsumsi bahan bakarnya menurut ESDM, yaitu sepeda motor, mencapai 22,5 juta kiloliter (kl) pada 2015. Pada tahun 2019, konsumsi BBM jenis kendaraan bermotor ini meningkat menjadi 25,9 juta kl, berarti mengalami kenaikan sejumlah 3,4 juta kl atau 15,1 persen.
Presiden berulangkali menyampaikan beratnya beban keuangan negara dalam mengatasi permasalahan celah kekurangan antara produksi dan konsumsi migas nasional ini.
Seharusnya, impor migas dalam bentuk produk BBM yang membebani keuangan negara selama ini menjadi perhatian serius para pemangku kepentingan (stakeholders) untuk mengatasinya dengan mengoptimalkan pencarian cadangan minyak dan gas bumi di Indonesia.
Upaya ini tidak saja menjadi tanggungjawab Kementerian ESDM saja melainkan juga adanya komitmen lintas kementerian/lembaga, yaitu Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian BUMN, termasuk juga Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan BUMN Pertamina.
Dengan demikian, kekurangan produksi minyak selama kurang lebih 10 tahun yang hanya berkisar 1,8-1,9 juta BOEPD dan masih terus melakukan impor lebih dari 1 juta BOEPD menunjukkan fakta naifnya janji Presiden membesarkan Pertamina dan mengurangi impor migas/BBM apalagi sampai menihilkan impor!
Data tersebut menunjukkan tidak adanya upaya pemerintah menggali potensi migas yang ada di Indonesia untuk dikembangkan agar mampu mengatasi permasalahan celah (gap) antara produksi dan konsumsi migas/BBM nasional. Apabila, pemerintah tidak melakukan kegiatan apa-apa dalam mengatasinya, maka dimasa mendatang Indonesia akan semakin terbebani impor minyak mentah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi BBM masyarakat di dalam negeri.
Tanpa adanya komitmen para pemangku kepentingan, maka impor minyak/BBM jelas akan terus menyedot devisa negara dalam jumlah lebih besar lagi. Tanpa adanya keinginan kuat pemerintah untuk mengurangi ketergantungan importasi minyak/BBM, devisa negara yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk mencapai kesejahteraan rakyat hanya akan mengalir kepada para importer dan negara asing.
Oleh karena itulah, Presiden Joko Widodo harus memberikan perhatian khusus atas permasalahan beban importasi ini yang berimplikasi tersedotnya devisa dan keuangan negara Indonesia serta kinerja jajaran Direksi Pertamina dan SKK Migas yang mengabaikan pemenuhan janji kampanye Presiden Joko Widodo disektor migas ini. Jangan sampai nanti NKRI diplesetkan oleh publik menjadi Negara Kaya Ramah Impor.@
*) Ekonom Konstitusi