Oleh: Sugiyanto (SGY)-Emik
JIKA 7,8 miliar penduduk dunia bersatu untuk melawan kebijakan tarif baru Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kemungkinan besar ia bisa jatuh dalam waktu yang sangat cepat. Caranya adalah dengan setiap warga di berbagai negara dunia bersatu untuk menuntut para pemimpin mereka mengambil langkah tegas dalam menanggapi dan melawan kebijakan tersebut.
Langkah tersebut bisa dimulai dengan tekanan kepada pemimpin negara masing-masing untuk mengambil sikap yang jelas terhadap kebijakan tarif yang diberlakukan oleh AS. Dalam skenario ini, pemimpin negara-negara yang bersatu bisa mengambil kebijakan balasan yang signifikan, seperti melarang warganya untuk menggunakan atau membeli produk-produk asli buatan Amerika Serikat.
Terkait kebijakan yang dianggap sebagai perang tarif tersebut, Trump menyebut pengumumannya sebagai “Hari Pembebasan.” Kenaikan tarif timbal balik ini tidak hanya diberlakukan bagi negara-negara di Eropa dan lainnya, tetapi juga berdampak pada Indonesia, yang dikenakan tarif sebesar 32 persen untuk barang-barang tertentu. Dalam pidatonya, Trump menyatakan bahwa defisit perdagangan adalah masalah nasional yang harus segera diatasi dan menekankan bahwa Amerika Serikat akan mengutamakan kepentingan negaranya.
Memang benar, kebijakan yang dianggap perang tarif Trump ini akan meningkatkan pendapatan dari pajak impor dan menguntungkan Amerika Serikat dalam jangka pendek. Namun, jika kebijakan ini gagal atau mendapat serangan balik dari semua negara di dunia, hal itu justru bisa menyebabkan penurunan volume transaksi impor, yang pada gilirannya akan mengurangi pendapatan pajak impor itu sendiri di Amerika Serikat.
Akibat dari dampak tersebut, masyarakat Amerika akan merasakan kerugian dan perekonomian negara itu akan terganggu. Hal ini akan semakin parah jika pemimpin-pemimpin dunia memutuskan untuk melarang rakyat mereka membeli produk-produk dari Amerika Serikat. Produk-produk buatan Amerika yang banyak diperdagangkan di pasar global, seperti elektronik, otomotif, tekstil, dan makanan, akan menjadi sasaran utama kebijakan ini.
Jika seluruh dunia secara serempak menghentikan konsumsi barang-barang buatan AS, hal ini bisa menjadi pukulan besar. Dalam kondisi tersebut, dapat dipastikan bahwa pelaku usaha di Amerika Serikat yang bergantung pada keuntungan dari ekspor produk mereka akan menghadapi kebangkrutan dengan cepat. Dampaknya akan sangat buruk bagi perekonomian Amerika Serikat, karena hal ini berpotensi memicu efek domino yang sulit diprediksi, dengan dampak negatif yang meluas.
Namun, dampak dari perlawanan ini tidak hanya akan dirasakan di AS, tetapi juga di dalam negeri. Rakyat Amerika sendiri mungkin akan merasakan langsung dari kebijakan tersebut, yang bisa memicu ketidakpuasan sosial. Jika ekonomi AS mengalami kemerosotan yang signifikan, ada kemungkinan besar rakyat Amerika akan menuntut agar Presiden Trump mundur dari jabatannya, yang akhirnya bisa mengakhiri kebijakan yang memicu perang tarif ini.
Setelah pengumuman kebijakan tarif baru pada 2 April 2025, yang memberikan tarif timbal balik, Trump tampaknya memicu ketegangan dengan banyak mitra dagang AS. Negara-negara seperti Uni Eropa dan Kanada telah mengumumkan akan membalas kebijakan ini dengan tarif balasan mereka. Uni Eropa, misalnya, akan mengenakan tarif 20%, sementara Kanada berencana melindungi ekonominya dari dampak kebijakan ini.
Dalam konteks ini, diketahui bahwa jumlah penduduk dunia saat ini mencapai sekitar 8,2 miliar orang, sementara jumlah penduduk AS hanya sekitar 343 juta. Artinya, jika 7,8 miliar orang di dunia bersatu untuk melawan kebijakan ini, jelas ada potensi besar untuk memberikan dampak yang luar biasa pada perekonomian AS. Meskipun saat ini Amerika Serikat merupakan kekuatan besar secara ekonomi dan militer, persatuan negara-negara dunia bisa menjadi faktor yang mengubah keadaan dalam waktu singkat.
Kebijakan yang dianggap perang dagang yang dipaksakan oleh Trump ini mungkin berisiko menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Hal ini karena negara-negara di dunia berpotensi memanfaatkan kesolidan mereka untuk memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap perekonomian Amerika Serikat.
Produk-produk buatan Amerika Serikat memiliki peranan besar di pasar dunia. Produk elektronik seperti Apple, Ford, Coca-Cola, Marlboro, dan berbagai barang lainnya memiliki jejak pasar yang besar. Tetapi jika negara-negara di seluruh dunia bersatu untuk menghentikan konsumsi barang-barang ini, perekonomian AS akan menghadapi dampak yang besar. Misalnya, produk-produk seperti smartphone Apple, mobil Ford, atau minuman Coca-Cola bisa kehilangan pasar besar mereka, yang akan langsung berimbas pada pengurangan pendapatan perusahaan-perusahaan tersebut.
Kesimpulannya, jika 7,8 miliar penduduk dunia bersatu dalam melawan kebijakan perang tarif AS, dampaknya bisa sangat besar dan bahkan berpotensi mengguncang perekonomian Amerika Serikat. Namun, tantangan ini juga merupakan peluang bagi negara-negara, termasuk Indonesia, untuk memperbaiki kualitas produk dan memperluas pasar mereka.
Kata kuncinya adalah, mungkinkah negara-negara dan para pemimpin dunia dapat bersatu menghadapi kebijakan Amerika Serikat di bawah komando Presiden Donald Trump? Selain itu, mungkinkah mereka bisa berdagang tanpa melibatkan Amerika Serikat? Inilah tantangannya! Ataukah Amerika tetap menjadi negara superpower di dunia dalam segala hal, tanpa bisa tersaingi oleh negara-negara manapun di dunia ini, meskipun negara-negara dunia bersatu?@
*) Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (Hasrat)