SIAGAINDONESIA.ID Keputusan pemerintah mempercepat proses pembangunan dan pemindahan Ibu Kota Negara dari DKI Jakarta ke Ibu Kota Nusantara, Kalimantan Timur, dinilai sudah tepat.
Hal ini disampaikan akademisi Fikri Hadi dalam seminar yang digelar Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Wijaya Putra (BEM FH UWP) dengan tema “Perspektif Hukum Terhadap Pemindahan Ibu Kota Negara” melalui virtual di Gedung E Universitas Wijaya Putra, Surabaya, Sabtu (2/7/2022).
Fikri menjelaskan bahwa terdapat hasil kajian yang menyimpulkan bahwa Jakarta sudah tidak lagi dapat mengemban peran sebagai Ibu Kota Negara disebabkan berbagai faktor seperti banjir, kemacetan, ancaman bencana seperti gempa bumi, serta penurunan tanah di Jakarta.
Sedangkan alasan dipindahkannya ibu kota keluar Pulau Jawa, menurutnya, untuk menghentikan paradigma pembangunan yang Jawa-sentris dan Jakarta-sentris.
“Bayangkan, 70% perputaran uang di Indonesia ada di Jakarta. Selain itu, 57% penduduk di Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa, kontribusi ekonomi Pulau Jawa terhadap PDB Nasional sekitar 59%. Inilah yang melatarbelakangi mengapa Pulau Kalimantan dipilih sebagai lokasi Ibu Kota kedepan.” ujar pengajar dari Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra ini.
Selain itu, Fikri juga menambahkan bahwa Jawa juga menyimpan problematika tersendiri seperti arus urbanisasi yang tinggi seperti di Jabodetabek dan Surabaya, krisis ketersediaan air di Jakarta dan Jawa Timur dan penurunan tanah di sejumlah wilayah Pantai Utara (Pantura) Jawa.
Fikri menambahkan perbandingan konsep ibu kota secara teori dan perbandingannya di luar negeri. Namun ada sejumlah hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah dalam rangka pemindahan Ibu Kota.
Pertama, implementasi dari green city dan smart city. Kedua, aspek keberlanjutan.
Bahwa pembangunan IKN merupakan pembangunan jangka panjang. Oleh karenanya, harus dipersiapkan apabila kedepan terjadi perubahan situasi politik, hukum, ekonomi, sosial bahkan apabila terjadi bencana yang berpotensi menghambat pembangunan Ibu Kota.
Hal ini berkaca pada Krisis Moneter 1997 yang membuat berbagai pembangunan strategis nasional terhenti.
Ketiga, bagaimana memisahkan antara pusat bisnis dan pusat pemerintahan. Karena dari sudut pandang kajian ekonomi, pusat bisnis akan lebih efektif bila berdekatan dengan pusat pemerintahan.
“Namun kita pernah mengalami hal tersebut di akhir abad 19 dan awal abad 20 pada masa Hindia Belanda, yang mana pusat pemerintahan adalah Batavia namun kota sekaligus pusat industri terbesar adalah di Surabaya. Pemerintah bisa belajar dari hal tersebut,” demikian Fikri.
Pada kesempatan yang sama, Pakar Hukum Tata Negara, Dr. Suwarno Abadi yang menjadi narasumber kedua menyebut UU Ibu Kota Negara berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan beserta perubahannya, seharusnya menggunakan referensi mutakhir.
“Seyogyanya, naskah akademik UU IKN menggunakan referensi yang mutakhir dan lebih banyak. Karena proses pemindahan Ibu Kota berimplikasi pada berbagai aspek.”, ujar Suwarno menganalisa.
Suwarno juga mengkritisi belum dibentuknya peraturan teknis atau peraturan pelaksana dari UU IKN. Padahal peraturan pelaksana tersebut dibutuhkan agar UU IKN tersebut dapat diimplementasikan dan memberikan kepastian hukum.
Selain itu, Pengajar Program Pascasarjana Universitas Wijaya Putra ini juga mengkritisi proses cepat pengesahan UU IKN sehingga terkesan minim partisipasi masyarakat. Padahal pemindahan ibu kota berdampak kepada banyak sektor dan berbagai lapisan masyarakat, khususnya masyarakat setempat.
“Kita harus berkaca pada cacat formil pada UU Cipta Kerja yang salah satunya dikarenakan cepatnya pembahasan UU tersebut sehingga dinilai minim partisipasi masyarakat. Dengan merujuk pada kejadian yang lalu, diharapkan UU IKN ini tidak bernasib sama dengan UU Cipta Kerja,” tambah Suwarno.
Terakhir, Suwarno menyatakan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam bermasyarakat. Hukum yang baik tidak hanya berupa menciptakan hukum tertulis untuk kepastian hukum saja, melainkan juga partisipasi masyarakat dalam pembentukan hukum tersebut.
“Itulah konsep the living law yang senantiasa akan hidup terus dalam masyarakat,” pungkasnya.
Sementara Rektor UWP, Dr. Budi Endarto, mengapresiasi kegiatan seminar tersebut. Menurutnya, seminar ini menunjukkan kepekaan mahasiswa FH UWP terhadap isu hukum di tengah masyarakat. Hal ini sejalan dengan tagline UWP, “Growth With Society”.
Budi berharap, pembahasan IKN tidak hanya berhenti pada seminar ini, melainkan juga pada ranah yang lebih besar seperti diskusi publik yang melibatkan masyarakat, akademisi serta Pemerintah Pusat.@