Oleh: KH Luthfi Bashori
SUATU saat ayah saya, KH. Bashori Alwi bercerita tentang buyut saya, Kyai Murtadla bin Abdurrahim yaitu seorang tokoh ahli Alquran yang suaranya cukup merdu.
Kata ayah, bahwa Kyai Murtadla itu disenangi oleh Mbah Thohir Bungkuk, salah satu kyai sepuh yang masyhur kewaliannya di kalangan masyarakat Singosari tempat tinggal saya.
Di jaman Belanda, banyak tokoh Islam yang menyembunyikan nama aslinya yang ke-Arab-araban, karena cukup rawan untuk ditarget oleh serdadu Belanda.
Termasuk Kyai Murtadla yang akhirnya lebih dikenal oleh masyarakat Singosari dengan panggilan Wak Murtolo. Dari nama Buyut Murtadla inilah, maka anak cucu beliau menisbatkan perkumpulan keluarga dengan nama BANI MUARTADLA.
Pengaruh Kyai Murtadla ini cukup besar di kalangan masyarakat Singosari pada jamannya, dan ketokohan beliau ini pada akhirnya berpengaruh kepada putra beliau, di antaranya Kyai Alwi Murtadla dan Kyai Abdi Manaf Murtadla.
Beliau berdua ini pun pada akhirnya sama-sama menjadi tokoh di tengah masyarakat, hanya saja Kyai Alwi menjadi tokoh di Singosari, sedangkan Kyai Abdi Manaf menjadi tokoh di Surabaya.
Adapun keahlian Kyai Murtadla khususnya di bidang Alquran, nyaris diwarisi oleh ayah saya, KH. Bashori Alwi, yang oleh masyarakat sangat dikenal sebagai guru master Alquran dan ahli Qira’ah dengan suara yang sangat merdu.
Bahkan ayah saya dan beberapa kawannya di Surabaya, konon merintis pergerakan Jam’iyyatul Qurra’ wal Huffadz sebagai cikal bakal diadakan MTQ (Musabaqah Tilawatil Quran) hingga tingkat Internasional.
Ada pepatah Arab yang mengatakan:
النجيب لا ينجب واذا نجب يفوق
Umumnya, seorang tokoh itu tidak menelorkan anak sebagai tokoh penerusnya, namun jika anaknya muncul, maka seringkali melebihi ayahnya.
Barangkali seperti itu yang terjadi di antara buyut, kakek dan ayah saya.
Secara garis besar, bisa dikatakan ayah saya itu lebih dekat mengikuti keahlian buyut saya, yang mengambil jalur Alquran sebagai lahan dakwah yang digeluti.
Sedangkan kakek saya, Kyai Alwi dalam bermasyarakat, beliau lebih cenderung terjun sebagai aktifis organisasi yang menjadi pilihan dakwahnya.
Bahkan secara perpolitikan nasional di jaman itu, beliau sangat menguasai, maka tak heran jika beliau pun diangkat oleh NU JawaTimur sebagai delegasi untuk duduk di lembaga Konstituante, yang mungkin di jaman sekarang hampir setara dengan anggota lembaga legeslatif (DPR Pusat).
Di jaman itu, keanggotaan legeslatif belum ada yang diperjual-belikan, hingga tidak mungkin seseorang itu diangkat sebagai perwakilan, kecuali jika benar-benar ahli di bidang perpolitikan.
Entah bagaimana, keahlian Kyai Alwi di bidang Orsospol (Organisasi Sosial & Politik) itu, ternyata menjadi kegemaran saya juga, hingga saya pun lebih gandrung beraktifitas di tengah masyarakat, pada tataran keorganisasi yang sedikit berbau politik Islam.
Saat saya pulang dari Makkah tahun 1991, tentunya dengan cerita kronologi yang cukup panjang, maka suatu saat ibu mengatakan kepada saya: “Ojok melok-melok dadi pejabat politik, dadio ustadz ae, ibu nggak senang duwe anak dadi pejabat.” (Jangan ikut-ikut menjadi pejabat politik, ibu tidak senang punya anak jadi pejabat).
Maka, demi ucapan ibu ini, saya pun sangat membatasi diri untuk bergelut di bidang dunia politik nasional, tapi bukan berarti buta politik. Bahkan saya cukup sering berinteraksi dengan para tokoh politik Islam nasional di tanah air, dan -Alhamdulillah- kami seringkali saling memberi dan menerima, terutama bertukar pikiran demi kemajuan dakwah politik Islam di Indonesia.
Untuk hasrat beroganisasi non politik, aslinya cukup banyak para pengurus keorganisasian Islam yang melibatkan nama saya, dan kebanyakan saya diminta menjadi penasehat.
Walaupun pada akhirnya saya lebih cenderung memilih bergabung dengan perkumpulan yang bersifat kajian Ilmiah atau pemikiran Islam. Saya juga merasa nyaman dan sambung serta enjoy, jika diajak berdiskusi terkait pembahasan ilmiah terutama masalah ke-Aswaja-an.@
*) Pengasuh Pesantren Ribath Almurtadla & Pesantren Ilmu Alquran (Singosari-Malang)
Discussion about this post