○ Daniel Mohammad Rosyid _@Rosyid College of Arts_
SIAGAINDONESIA.ID Pemerintahan baru yg akan dipimpin Prabowo telah meluncurkan 17 program yang dapat dikelompokkan menjadi 5 program besar, yaitu 1) pendidikan yg menyiapkan warga muda yg cakap, sehat dan produktif untuk memanen bonus demografi, 2) pasar yang terbuka dan adil bagi semua aktor ekonomi, 3) investasi yg memperkuat ketahanan pangan, energi dan sektor kreatif, 4) birokrasi yg kompeten, amanah dan bebas KKN, 5) pasokan energi baru dan terbarukan yang memadai untuk mencapai pertumbuhan 5-7% pertahun selama 5-10 tahun ke depan. Ini perlu diperkuat dengan 6) membangun pemerintahan di laut yang efektif untuk perluasan basis sumber pangan, dan energi serta memeratakan pembangunan ke seluruh pelosok Republik.
Ke-17 program itu merupakan jawaban langsung atas 17 masalah pembangunan yg justru terjadi sejak UUD45 diganti oleh UUD 2002 yg bersemangat liberalisasi di mana parpol menghegemoni jagad politik, sementara korporasi swasta besar mendominasi jagad ekonomi. Akibatnya, berbagai regulasi dan kebijakan dibuat bukan untuk kepentingan publik dalam sebuah republik, tapi justru dibuat untuk kepentingan segelintir oligarki yang bersekutu dengan para elite parpol. Kondisi Indonesia saat ini nyaris seperti Roma di tangan Nero dan para aristokrat di sekelilingnya. UUD45 telah dirumuskan sebagai pernyataan perang melawan kolonisasi, namun UUD2002 justru menggelar karpet merah bagi neokolonisasi.
Stunting yang menghinggapi paling tidak 20% balita menjadi indikator paling sederhana atas kegagalan pembangunan yang dirumuskan melalui proses-proses politik mbelgedhes yg dengan congkak disebut demokrasi. Proses-proses politik ini ternyata tidak pernah mengusik sistem ekonomi riba yg tidak adil bagi petani dan nelayan. Devolusi sektor agromaritim merupakan akibat langsung dari pendidikan yg secara TSM justru mendorong brain draining pedesaan di mana para pemudanya meninggalkan kawasan2 subur itu untuk pergi ke kota2 besar sekedar menjadi buruh kasar di pabrik2 hasil investasi asing.
Stunting juga menjadi sinyal keruntuhan nilai2 keluarga. Ketahanan nasional bersumber pada ketahanan keluarga. Westernisasi melalui globalisasi secara gencar sedang menghancurkan nilai2 keluarga di mana-mana. Ketahan pangan dan energi sebagian akan ditentukan tidak hanya oleh kecukupan pasokannya, tapi juga distribusinya. Ini memerlukan jejaring sosial yang mampu mencandra pertanda awal _stunting_ yang meluas. Jejaring sosial ini bertumpu pada keluarga yang peduli hidup bertetangga.
Pendidikan justru harus dibebaskan dari dominasi persekolahan yang telah menjadi instrumen teknokratik untuk menelantarkan sektor agro-maritim. Pendidikan tidak boleh disamakan dengan persekolahan yg sering memberi pesan dan kesan sebagai satu2nya tempat belajar. Akibatnya kesempatan belajar justru menjadi langka dan mahal. Pendidikan adalah soal kesempatan belajar, bukan soal bersekolah. Persekolahan yg menjadikan belajar sebagai komoditi telah menjadi sumber feodalisme baru berupa pemujaan pada gelar, serta tempat terbaik untuk menyombongkan diri.
Pembangunan harus dirumuskan kembali sebagai upaya bersama serta berkelanjutan untuk memperluas kemerdekaan, memperkuat persatuan, kedaulatan, keadilan dan kemakmuran. Bukan sekedar pertumbuhan yang inklusif, apalagi sekedar pertumbuhan yang menetes ke bawah.
● Gunung Anyar, Surabaya. 11 Sep. 2024
Discussion about this post